Oleh : Anton Permana.
(Forum Musyawarah Majelis Bangsa Indonesia).
Banyak yang bertanya kepada penulis tentang semakin naiknya tensi politik dan kerusuhan di negara kita belakangan ini. Apakah kerusuhan ini bisa seperti kejadian reformasi 1998 ? Yang akhirnya dapat membuat Pak Harto mengundurkan diri dari jabatan Presiden ?
Penulis menjawab bisa iya, bisa tidak, dan juga bisa sebaliknya. Semua sangat tergantung kepada pola penanganan pemerintah khususnya aparat keamanan, inteligent dan istana. Kalau pola yang digunakan sama dengan penanganan kudeta 1965, opsus Timor Timur 1999, rusuh mei 1998, yaitu dengan pola pendekatan kekuasaan, kekerasan, arogansi, anarkisme, dan ABS (asal bapak senang), main tuduh menuduh untuk menutupi kegagalan (ketidak mampuan) kepada Presiden, tidak tertutup kemungkinan kondisi lebih parah bisa terjadi.
Tetapi apabila pola pendekatannya smooth, sejuk, merangkul bukan memukul, menyayang bukan menendang, dialog dan komunikasi bukan tipu menipu cipta kondisi serta agitasi, maka rusuh dan konflik yang terjadi hari ini bisa diatasi dan diselesaikan dengan baik.
Namun terlepas dari itu semua. Penulis akan mencoba memamaparkannya lebih secara komprehensif, integral, holistik dan sistematis. Agar kita semua dapat memahami sebuah esensi bernegara sebenarnya yang diamanatkan konstitusi (asli) kita yakni UUD 1945 bukan versi UUD 20 agustus 2002 reformasi.
Federick Jr seorang ilmuwan dari Inggris didalam bukunya “ State and Leadership “ (Negara dan Kepemimpinan), mengatakan ada 3 tahapan ancaman soliditas keutuhan sebuah negara. Yang sangat menentukan keberlangsungan dan kemajuan sebuah negara ataupun sebuah organisasi.
1. Dis-Orientasi.
Yaitu para pengelola negara berubah orientasi tujuan bernegaranya keluar dari amanah konstitusi negara. Sebuah rumusan konstitusi negara menurut prinsip dan filsafat hukum dibuat untuk mengekang kekuasaan. Agar tidak terjadi ‘abuse of power’ dan menjadikan konstitusi sebagai ‘guidance role of law’ sebuah pemerintahan menjalankan roda pemerintahannya.
Dalam konteks negara kita, orientasi bernegara itu semua termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Dimana visi utama kita bernegara itu adalah mewujudkan masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Bagaimana caranya ? Yaitu dgn membentuk pemerintahan negara Indonesia dengan tujuan bernegara adalah “ Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia “.
Mari sejenak kita merenung dan menghayati butiran setiap kata dari untaian indah mukadimah (pembukaan) konstitusi kita di atas. Sungguh betapa tulus ikhlas dan briliantnya kata-kata itu mengalir dan tersusun dalam rangakaian ungkapan yang sangat luar biasa. Hanya orang yang berhati bersih, berpikir jernih, berotak cerdas, dan mempunyai kemampuan berpikir holistik dan filosofis yang bisa merangkai itu semua.
Namun ungkapan dan rangkaian kata indah saja tentu tidak cukup. Karena sebuah konstitusi itu sifatnya ‘ abstract ‘. Konstitusi akan hidup sebagai guidence pemerintahan kalau memang dipahami, dimengerti, dan dilaksanakan dengan baik dan benar.
Disinilah permasalah inti negara kita hari ini. Terjadi pergeseran orientasi (tujuan) bernegara yang extreem dan keluar jauh dari konstitusi kita.
Pada level elit, orientasi bernegara tidak lagi ‘murni dan konsekuen’ menjalankan amanat konstitusi. Bergeser menjadi alat kekuasaan oligarki kelompok semata.
Sudahkah negara hari ini melindungi segenap tumpah darah dan bangsa nya ? Kalau melihat potret berdarah-darah yang terjadi hari ini di Papua dan demo mahasiswa. Belum lagi kalau kita ‘flash back’ kebelakang tentang kematian tidak wajar 700 petugas Pemilu dan korban penganiayaan kekerasan pasca Pilpres ?
Selanjutnya kita juga melihat bagaimana product barang import membanjiri negara kita tanpa ada proteksi sama sekali sehingga membunuh habis hampir semua produk lokal yang menjadi sumber kehidupan kita. Belum lagi invansi TKA yang gila-gilaan merampas hak generasi muda kita yang saat ini banyak jadi pengangguran karena tidak ada pekerjaan.
Artinya adalah Orientasi dalam bernegara ini tidak saja terjadi pada kelompok elit. Tetapi juga terjadi hampir semua lapisan sehingga kita pun kadang bingung memilah mana yang masih konsisten merah-putih, dan mana sebenarnya musuh dalam selimut yang menjadi parasit buat negara dan bangsa. Dalam hal ini penulis mencoba mengelompokkan secara sederhana berapa dan siapa kelompok yang saat ini sedang bertarung berebut pengaruh dan kendali terhadap negara ini sebagai berikut :
A. Kelompok ideologis. Yaitu mereka yang secara ideologis melanjutkan sebuah pertarungan global yang sudah terjadi sejak zaman Nabi. Kalau secara garis besarnya adalah pertarungan antara kelompok konservatif (yaitu kelompok yang masih berpegang teguh dengan nilai agama, adat budaya, dan norma kebaikan) dengan kelompok liberalis (yaitu mereka pemuja kebebasan yang ingin kehidupannya bebas dari agama, jauh dari agama dan membentuk tatanan nilai baru bersama sesuai dengan syahwat hawa nafsu mereka).
Dua kelompok ini saling berebut pengaruh dan kendali. Dalam kondisi Indonesia saat ini, pemenang sementaranya adalah kelompok liberalis yang memegang kekuasaan. Kelompok liberalis ini bersatu padu dengan para taipan pengusaha, kelompok sekuler, partai komunis China, anak-anak PKI, kelompok Syiah, dan kelompok Non-Muslim Radikal. Dan menjadikan kelompok konservatif agama menjadi bulan-bulanan mereka dengan berbagai isu dan propaganda upaya menjadikan kelompok konservatif (agama) ini menjadi musuh dan ancaman negara.
Disinilah letak disorientasi itu yang penulis maksudkan. Tidak ada lagi rasa persaudaraan sebangsa dan setanah air. Setiap kerikil permasalahan yang terjadi selalu berupaya dieskalasi menjadi batu sandungan. Setiap celah sempit perbedaan, direkayasa menjadi jurang terjal permusuhan antar sesama. Apapun permasalahan semua jadi runcing dan tajam. Akhirnya yang terjadi adalah gap dan permusuhan yang semakin dalam.
Kelompok liberalis yang sedang berkuasa menuduh kelompok konservatif agama ingin mengganti ideologi negara, mendirikan negara khilafah, dan radikal serta intoleransi. Doktrin ini masuk mencengkram dalam kedalam pikiran dan tindakan para aparatur pemrintahan melalui indoktrinisasi yang sangat kuat dan sistematis.
Kelompok konservatif menganggap kelompok liberalis sebagai antek yahudi, antek komunis, dan proxy dari kekuatan global yang ingin menjajah kembali negara ini. Dua kubu ini saling bersiteru kuat tak henti entah sampai kapan.
B. Kelompok opportunis. Yaitu kelompok yang ideologinya hanya uang dan jabatan. Mereka tak peduli dengan perseteruan ideologi apapun. Walaupun mereka juga ada yang beragama. Tetapi jabatan, fasilitas negara, uang dan proyek lebih utama bagi kelompok ini.
Kelompok ini sangat lentur dan flexibel. Kalau yang berkuasa itu kelompok konservatif agama, maka mereka dengan mudah menyulap dirinya seolah menjadi orang yang agamais. Tetapi kalau yang berkuasa itu kelompok liberalis-sekuler seperti saat sekarang ini, mereka juga siap memusuhi agama dan setia kepada penguasa. Kelompo opportunis ini bisa berasal dari banyak lapisan. Ada dari aparatur negara, pejabat, pengusaha, pers media, bahkan para tokoh agama dan ormas agama pun bisa bahagian dari kelompok ini.
C. Kelompok dunguis. Yaitu kelompok penggembira yang tahunya ikut mana arus yang kuat dari pertarungan kelompok diatas tadi. Tapi mereka bukan penikmat seperti dua kelompok diatas. Mereka hanya ‘follower’ seperti para buzzer bayaran, mahasiswa gadungan, dan pengikut setia para tokoh dan ormas tertentu. Orientasinya hanya jangka pendek yaitu nasi bungkus dan paket internet.
Tiga kelompok inilah yang mengakibatkan dampak sistemik terhadap disorientasi bernegara kita hari ini. Mereka lebih asyik dan militan berseteru memperjuangkan kepentingan kelompoknya dari kepentingan negara dan bangsa. Padahal secara konstitusi kita menjamin kedaulatan itu ada ditangan rakyat. Dan begara berdasarkan kepada KeTuhanan Yang Maha Esa. Tetapi semuanya kalah oleh magnet kepentingan kelompoknya.
2. Dis-Fungsi
Setelah orientasi bergeser dan berubah. Maka akan dilanjutkan dengan bergesernya fungsi-fungsi alat dan sendi negara. Trias politika sebagai bentuk dari pembahagian kekuasaan sekarang ini dan juga menjadi symbol utama masih berjalannya demokrasi dinegara ini, sekarang cenderung ‘berselingkuh’ bersama kekuasaan.
Contohnya adalah. Ketika seorang Presiden yang dipilih rakyat sebagai pemimpin negara, berubah menjadi seorang petugas partai. Otomatis yang diperjuangkanya adalah kepentingan partai bukan negara atau rakyat.
Aparat kemanaan TNI/Polri sebagai alat pertahanan dan keamanan negara. Karena dipilih oleh Presiden akhirnya bergeser menjadi alat penguasa. Seharusnya menjadi anak kandung rakyat yang melindungi, mengayomi, dan melayani, akhirnya terjebak kedalam kepentingan politik praktis kekuasaan.
Media pers dan ilmuwan. Sekarang banyak zig zag berbicara tidak lagi sesuai dengan mahzab keilmuwannya. Minimal bungkam ketika melihat kemungkaran terjadi. Semenjak para rektor perguruan tinggi ditunjuk Presiden, maka lumpuhlah industri pikiran dan dunia akademis perguruan tinggi dalam memberikan kontrol sosial kepada pemerintah.
Begitu juga dengan para tokoh agama, adat, intelektual, dan masyarakat. Banyak terjebak tidak lagi menjalankan tugas dan fungsinya sebagai ‘leader’ suluh dalam gelap, bagi masyarakat. Banyak juga yang latah menjadi alat kekuasaan politik.
Disfungsi ini mengakibatkan masih institusi dan kelompok saling berbenturan dan tidak lagi menjaga posnya masing-masing. Ini terjadi akibat pergeseran orientasi seperti yang kita bahas diawal.
Partai politik yang seharusnya menjadi lembaga aspirasi perwakilan dan mencetak para kader kepemimpinan nasional. Berubah fungsi menjadi sebuah sistem oligarki kekuasaan yang mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya serta yang utama adalah para pemodal kapitalis dibelakangnya.
3. Disintegrasi. Yaitu perpecahan dan keinginan untuk saling melepaskan diri. Timor timur adalah contoh konkret dari ini semua. Aceh merdeka hampir saja. Sekarang yang luar biasa bergelora adalah Papua yang ingin merdeka dan keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disintegrasi ini adalah muara dari tahapan disorientasi, disfungsi diawal tadi. Papua terlepas itu bahagian dari operasi inteligent asing disana, tetapi sudah mengalami pergeseran orientasi dari otonomi khusus menjadi negara merdeka sendiri. Selanjutnya fungsi pemerintahanpun bergeser dari diperintah kemudian menjadi ingin memerintah maka lahirlah negara Papua merdeka.
Dari paparan singkat diatas apa yang dapat kita simpulkan dan ambil intisari permasalahan agar bisa menjadi solusi dan keluar dari kesemrawutan ini. Supaya NKRI ini masih tetap ada dan tidak pecah berkeping-keping.
Berikut penulis mencoba memberikan saran masukan, dan simpulan apa yang seharusnya kita lakukan bersama.
1. Kembali ke UUD 18 Agustus 1945 secara murni dan konsekuen. Karena disinilah letak titik tekan utama dari keberadaan negara ini. Kerusakan yang terjadi hari ini tidak lagi parsial dan sederhana. Tetapi sudah komprehensif dan complicated. Berarti yang rusak (atau dirusak) itu adalah sistem bernegaranya. Ada yang salah dalam konstruksi bernegara kita hari ini semenjak pasca reformasi.
Dan yang mesti kita ingat dengan jujur adalah. Konstitusi yang kita gunakan hari ini adalah ilegal. Bukan konstitusi UUD 18 agustus 1945 yang dibuat separipurna itu. Tapi UUD 20 agustus 2002 produk reformasi dimana banyak kesalahan fatal terjadi didalam proses pembentukan amandemen ketika itu. Euphoria reformasi melalaikan kita semua sehingga sekarang baru kita sadar bahwa kerusakan sistem bernegara kita hari ini berawal dan bersumber dari konstitusi kita sendiri.
Seperti contah dalam hal pasal 6 (a) yang menghapuskan kata pribumi bagi siapa saja yang jadi Presiden di Indonesia. Ini sama saja, presiden yang notabenenya sebagai pejabat pemerintahan tertinggi negara boleh berasal dari mana saja asal warga negara Indonesia. Padahal kata pribumi inilah yang menjadi kata kedaulatan dari sebuah negara dalam menentukan arah politiknya. Kata pribumi inilah yang seharusnya menjadi kata kunci dan identitas sebuah bangsa bernama Indonesia. Tapi sekarang, bangsa atau siapa saja yang masuk ke Indonesia kemudian menjadi warga negara (cukup punya KTP/KK) sudah bisa jadi calon Presiden di Indonesia.
Celah ini yang akhirnya menjadi pintu masuk dari sebuah gelora kekuasaan dari masyarakat non pribumi di Indonesia. Apalagi kelompok ini adalah para pemodal besar yang menguasai hampir 90 persen ekonomi bangsa ini.
Begitu juga dengan kedudukan MPR yang tidak lagi menjadi mandataris Presiden. Akhirnya tak ada satu lembagapun yang bisa mengontrol kekuasaan Presiden. Ada lembaga legislatif DPR/DPD/MPR mereka tunduk kepada partai politik yang menaunginya. Sedangkan banyak para ketua partai politik yang jadi menteri (anak buah Presiden). Adapun DPD yang dianggap utusan daerah hanyalah macan ompong yang tak lunya wewenang apa-apa. Hanya berwisata politik dan sosialisasi empat pilar negara semata. Akhirnya yang terbentuk adalah kombinasi oligarki dari segitiga kekuasaan yang nengendalikan penuh negara kita hari ini yaitu : Politisi (parpol) – Pemodal (kapitalis) – Aparat negara. Segitiga kekuasaan inilah yang menjadi elit minority yang menguasai dan mengendalikan negara kita hari ini. Dan ini sudah sangat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dimana kekuasaan tertingi itu ada ditangan rakyat. Kedaulatan berada ditangan rakyat yang berdasarkan Pancasila.
Banyak lagi hal-hal fundamental yang rusak dari hasil amandemen konstitusi negara kita yang asli. Ketika amandemen ini terjadi, kita semua tak sadar bahwasanya telah terjadi skenario besar untuk merubah konstruksi dasar negara Indonesia secara radikal. Perubahan konstitusi ini sama saja merubah identitas dan kedaulatan serta orientasi (arah tujuan) negara ini dibangun.
Negara Indonesia ini dibangun dari darah dan air mata para syuhada. Dari perjuangan rakyat hasil mandat dari kerajaan-kerajaan nusantara. Tidak ada partai politik ketika itu. Tidak ada kapitalisme pemodal kemerdekaan kita saat itu karena semua modal perjuangan itu berasal dari rahim dan kantong rakyat. Tapi kenapa hari ini yang berkuasa justru para oligarki partai politik, para kapitalis dan aparat negara ?? Rakyat justru hanya jadi korban dan penindasan.
2. Perlu evaluasi fundamental dan perubahan kembali strukturisasi negara kita hari ini. Kembalikan MPR kepada posisinya semula sebagai lembaga tertinggi negara dan mandataris Presiden. Tidak hanya itu saja. Perlu restrukturisasi keanggotaan MPR RI agar tidak lagi terjadi hegemoni dan cengkraman partai politik.
Komposisi keanggotaan MPR mesti berdasarkan mandat daerah sebagaimana berdirinya negara ini atas mandat daerah. Yaitu utusan golongan. Dimana komposisinya mengacu kepada dasar negara kita yakni Pancasila. Sila KeTuhanan Yang Maha Esa berarti adalah representasi dari para tokoh agama dan ulama. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab yaitu berasal dari para negarawan, veteran pejuang, dan tokoh nasional. Sila Persatuan Indonesia berasal dari TNI-Polri. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan. Yaitu berasal dari para raja-raja Nusantara dan senator (DPD) dari masing daerah. Terakhir Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Yaitu perwakilan dari para pakar, insinyur, ahli, dibidangnya masing-masing. Bidang kesehatan dari kedokteran. Bidang infrastruktur dari insinyur dan seterusnya. Barulah MPR RI kita bisa dikatakan wakil rakyat. Dan untuk sistem voting juga dihapuskan. Karena kearifan lokal kita hari ini adalah musyawrah dan mufakat. Voting adalah expresi dari demokrasi liberal yang diadopsi dari barat bukan nusantara.
Tidak hanya kedudukan MPR. Kita perlu juga mengembalikan GBHN sebagai guidence pembangunan negara ini mau kearah mana. Jadi siapapun Presidennya arah negara ini jelas. Karena sudah by sistem dan tidak diacak acak lagi oleh kepentingan politik jangka pendek. Lihatlah negara maju dan kuat. Mereka berjalan sudah by sistem. Siapapun pemimpinnya roda pemerintahannya sudah berjalan searah.
3. Kembalikan masing fungsi TNI-Polri sebagaimana mestinya. Harus ada batas yang jelas antara dimensi pertahanan, dimensi pertahanan dan dimensi keamanan. Sejatinya tidak ada pemisahan antara pertahanan dan keamanan. Karena keduanya adalah saling terikat dan berhubungan erat.
Sekarang dalam konstruksi negara kita tidak jelas mana yang dimensi pertahanan dan keamanan. Semua ditentukan oleh kebijakan politik. Ini berbahaya. Karena bisa membangun sebuah hubungan tatanan neo-otoritanism gaya baru dimana hal ini sudah kita kubur bersama.
Ada pergeseran pemahaman bahwasanya politik negara itu adalah setia kepada siapa yang berkuasa. Ini salah. Dan juga berbahaya. Politik negara itu patuh dan tunduk kepada konstitusi negara. Bukan kepada sosok siapa yang berkuasa. Siapakah itu yang tertinggi dalam konstitusi kita ? Yaitu rakyat. Tapi sekarang yang terjadi rakyat justru digebukin, dikriminalisasi, dan dianiaya.
Menjadikan Kapolri langsung berada dibawah Presiden dan TNI dibawah Kemenhan, ini sama saja dengan politik belah bambu. Yang satu diangkat tinggi, yang satu lagi di injak dengan topeng bernama konsep ‘democratic policiying’.
Jadi wajar terjadi kecemburuan antar institusi antara TNI dan Polri. Walaubagaimanapun Panglima TNI menyuarakan sinergitas TNI-Polri, tetapi kecemburuan dan luka ditubuh TNI sudah terlalu dalam karena meras dianak tirikan.
Kitapun jadi bingung sekarang ini hampir semua posisi strategis di isi oleh Pejabat Polri. Mulai dari kepala BIN, BNPT, Bulog, Pramuka, Imigrasi, dan sekarang KPK. Mulai dari urusan SIM, menangkap maling ayam, mengatasi perusuh, pariwisata, pelabuhan, kapal airud, cyber crime, korupsi, nangkap teroris dan saparatis, dan kepala daerah. Semua diurus Polisi. Dan menurut penulis Polri hari ini adalah lembaga paling super power di negara ini setelah KPK dibajak.
Ini tidak sehat dalam bernegara. Karena terlalu menuruti kemauan elit yang memanfaatkan Polri sebagai alat politik kekuasaan. Kasihan kita melihat korps bhayangkara ini. Secara pemerintahan memang super power, tetapi dimata banyak dimusuhi masyarakat. Padahal masih sangat banyak dari bapak polisi kita yang baik, idealis, cerdas, dan merah putih. Tapi mereka sering kalah oleh sistem yang mengekangnya dari atas.
Dan ini tidak boleh terus menerus terjadi. Cukup wajah ABRI era orde baru yang begitu sangar dan otoriter terjadi dinegara kita. Jangan biarkan Polri seolah jadi ABRI nya zaman orde baru. Alat penopang kekuasaan. Kembalikan Polri sebagai sipil bersenjata yang melindungi, melayani, dan mengayomi masyarakat. Polri adalah bhayangkara negara bukan angkatan bersenjata. Urusan pertahanan serahkan pada TNI sebagai alat pertahanan yang memang tupoksinya sebagai angkatan bersenjata. Sekarang terbalik, Polri tiap hari bisa menenteng senjata bahkan canggih pula. Sedangkan TNI yang murni angkatan bersenjata dilucuti dan dibatasi. Aneh bukan ? Siapa yang merancang ini ? Untuk itu perlu evaluasi total tentang kedudukan TNI-Polri yang fair dan sesuai tupoksinya.
4. Negara mulai berhenti menjadikan agama sebagai musuh negara. Propaganda dan framing negara menjadikan negara sebagai ancaman dan musuh negara sekarang ini boleh dikatakan gagal total.
Kelompok agama yang selalu dikaitkan dengan tindakan radikalisme, anti Pancasila, intoleransi, dan ingin merdeka. Semua haru ini termentahkan dengan sangat memalukan. Ternyata semua tuduhan itu penuh dengan agenda sentimentil. Ternyata semua tuduhan itu dilakukan justru oleh kelompok diluar kelompok agama.
Dikatakan radikal, ternyata lihat Papua haru ini yang membantai warga non papua disana. Dikatakan intoleransi dan ingin merdeka, papua juga adalah jawabannya hari ini. Tentang anarkisme dan anti demokrasi atau intoleransi. Dalam demo mahasiswa secara telanjang dipertontonkan siapa ternyata yang anarkisme, intoleranscdan anti demokrasi.
Banyak lagi kebusukan dan propaganda pemerintah hari ini membuat skenario dalam menyudutkan kelompok agama di negara kita. Akhirnya waktu juga yang menjawabnya.
Jadi penulis menyarankan kepada pemerintah hari ini. Stop dan hentikan upaya menjadikan agama sebagai musuh negara. Musuh kita bersama hari ini adalah kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, narkoba, invansi asing melalui adu domba, LGBT, aliran sesat syiah, dan pemikiran komunisme gaya baru yang mendoktrin otak bangsa kita untuk saling benci, saling curiga, dan saling ingin menghabisi.
Biarkan agama merawat ini sesuai amanat konstitusi kita yaitu negara berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Dengan mencerdaskan kehidupan bangsa dimana indikatornya adalah membentuk manusia Indonesia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta beraakhlak mulia.
Stop membenturkan agama dengan negara. Karena Pancasila dan UUD 1945 sudah final bagi rakyat Indonesia sebagai rumusan bernegara. Jangan congkel dan benturkan lagi. Perdebatan ini telah selesai. Waspada adu domba sesama kita.
5. Saatnya hari ini pemerintah duduk bersama dengan seluruh elemen masyarakat. Dengarkan keluhan dan kegelisahan mereka. Stop saling curiga ini agenda siapa, ditunggangi siapa serta sikap arogansi kekuasaan yang berlebihan. Ingatlah. Tidak ada satu negarapun yang bertahan lama ketika mengelola negaranya mengandalkan tangan besi. Pasti akan hancur dilindas balik oleh rakyatnya.
Mari himpun dan konsolidasikan negara ini dgn baik dan benar. Negara kita punya Pancasila dan lunya budaya penurut dan ramah. Jangan jadikan rakyat ini seolah bandit dan musuh yang mesti dihabisi. Kualat nanti. Rangkul mereka dan bicara. Tapi jangan sampai ada dusta diantara kita. Cukup agirasi propaganda isu, dan cipta kondisi. Rakyat hari ini sudah terlanjur cerdas akan itu. Tak bisa lagi dibohongi.
Banyak lagi sebenarnya yang ingin penulis sampaikan dalam tulisan ini. Tetapi karena keterbatasan tempt dan waktu, penulis cukup memberikan pandangan yang urgensi kita.
Semoga tulisan ini dapat menjadi tambahan khasanah pemikiran kit agar NKRI ini kembali berjaya dibawah naungan panji Pancasila dan UUD 1945. InsyaAllah. NKRI Harga Mati. Indonesia Jaya !
Jakarta, 28 September 2019.