Banda Aceh,owntalk.co.id-Kaukus Peduli Aceh (KPA) menyayangkan pembahasan persoalan bendera Aceh yang dilakukan oleh ketua Komisi I DPRA, Ketua Banleg DPRA, Ketua Fraksi PA dan sejumlah elit DPRA hanya diikuti oleh pejabat sekelas kepala seksi dan kasubdit, bukan menteri atau dirjen yang memang punya kapasitas dan kewenangan kuat sehingga punya solusi untuk persoalan polemik bendera Aceh.
“Kasihan para elit DPRA yang menggaung-gaungkan memperjuangkan persoalan bendera Aceh jika sampai di kementerian hanya bertemunya dengan pejabat sekelas kasubdit dan Kasi. Seharusnya minimal kan ketemu sekelas, Menteri, Dirjen atau selemah-lemah iman sekelas direktur, sehingga ada solusi kongkret persoalan bendera Aceh, bukan hanya sebatas persoalan arsip surat menyurat,” ungkap Koordinator Koalisi Peduli Aceh (KPA) kepada media, Kamis (19/09/2019).
Menurut Hasbar, secara tidak langsung kapasitas para delegasi DPRA yang hadir terlalu dianggap enteng sehingga cukup disambut dan diikuti oleh pejabat selevel itu.
“Kita khawatir memang tidak ada jadwal pembahasan itu dengan menteri, tapi karena untuk kebutuhan anggaran SPPD dan atau anggaran anggota DPRA di penghujung jabatan saja, makanya asal ketemu saja sudah, terlepas itu hanya sebatas ketemu dengan pejabat yang tidak punya kewenangan kuat untuk mengambil keputusan terkait solusi. Kasihan kan kalau jumpanya cuma dengan eselon III, dimana Marwah wakil rakyat Aceh jika disambut sebelah mata demikian,” jelasnya.
KPA juga menyebutkan, pernyataan dalam pertemuan itu bisa saja beda, tapi karena yang mengungkapkan ke publik adalah pihak perwakilan DPRA maka yang munculnya versi DPRA.
“Apa rekomendasi dan hasil resmi yang tertulis atau minimal notulensi hasil pertemuan itu kan juga seharusnya ditunjukkan kepada publik, inikan tidak. Sehingga, kita melihat pertemuan itu hanyalah asal ada saja untuk menutupi kesalahan DPRA yang terlalu lama membiarkan Qanun itu begitu saja,” imbuhnya.
Menurut KPA, seharusnya DPRA bisa bertemu dan membahas langsung dengan Plt Dirjen OTDA, karena pejabat dengan sekaliber Dirjen OTDA pada Agustus lalu juga membenarkan adanya surat Kementerian Dalam Negeri melalui keputusan Mendagri nomor 188.34-4791 Tahun 2016 tanggal 12 Mei 2016 telah membatalkan dan mencabut beberapa pasal dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang bendera dan lambang Aceh.
“Seharusnya DPRA lakukan gugatan ke PTUN atau langsung jumpa presiden, minimal Mendagri lah jika tujuannya untuk memperjelas kedudukan Qanun Bendera Aceh. Tapi jika cuma untuk mencari fisik surat, sarannya sech cukup ke bagian umum atau arsip dan sejenisnya. Namun, lagi-lagi semua yang dilakukan DPRA itu tidak membuahkan solusi, sehingga terkesan amhanya sebagai dalih dan sensasi kepada publik,” katanya.
KPA berharap anggota DPRA yang baru dilantik ke depan lebih punya Marwah dalam memperjuangkan polemik bendera ini serta harus ada solusi. “Bayangkan saja selama 6(enam) tahun Qanun nomor 3 itu tidak ada titik terangnya. Bahkan hingga habis masa jabatan pihak DPRA yang mendengung-dengungkannya. Sudahlah, kegagalan itu jangan lagi terulangi oleh DPRA yang baru, harus disegerakan solusi bukan sebatas sensasi. Bayangkan, berapa banyak energi dan uang rakyat yang sudah terkuras sementara hasilnya nihil tanpa kejelasan. Rakyat sudah lelah terus dikibuli dan diprovokasi tanpa hasil sama sekali,” tegasnya.
Masih menurut KPA, semakin cepat persoalan bendera dan simbol Aceh ini selesai semakin baik bagi rakyat Aceh. “MoU Helsinki dan UUPA itu, tidak hanya persoalan simbol dan bendera, ada persoalan yang juga sangat penting, yakni bicara tentang kesejahteraan rakyat Aceh. Kalau DPRA ke depan masih sibuk dengan membangun opini tanpa solusi tentang bendera, maka rakyat akan jenuh dan muak, lalu rakyat tak lagi peduli dengan persolan UUPA dan MoU Helsinki yang merupakan kesepakatan perdamaian. Dampaknya MoU Helsinki dan UUPA akan jadi lembaran-lembaran kenangan saja, karena pasal-pasal penting lainnya kurang dipedulikan sementara wakil rakyat sibuk memainkan opini bendera saja,” pungkasnya.(IQBAL)