Jakarta, Owntalk.co.id – Amerika Serikat (AS) kembali memulai penjualan senjata ofensif ke Arab Saudi setelah tiga tahun penangguhan, menandai perubahan signifikan dalam kebijakan luar negeri AS.
Pada Senin (12/8/2024), Departemen Luar Negeri AS mengumumkan pencabutan larangan penjualan peluru kendali udara-ke-darat, yang sebelumnya diberlakukan karena kekhawatiran atas pelanggaran hak asasi manusia dalam perang Yaman.
Larangan ini awalnya diberlakukan oleh pemerintahan Presiden Joe Biden pada tahun 2021 sebagai respons terhadap tingginya korban sipil akibat operasi militer Arab Saudi di Yaman.
Namun, dengan meningkatnya eskalasi konflik di Timur Tengah setelah pecahnya perang antara Israel dan Hamas, AS mengubah pandangannya dan memutuskan untuk kembali memperkuat kemitraan militernya dengan Saudi.
“Arab Saudi tetap menjadi mitra strategis dekat AS, dan kami berharap dapat meningkatkan kemitraan itu,” kata Vedant Patel, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, dalam pernyataannya yang dikutip dari France 24.
Pengumuman ini muncul setelah AS memberikan pengarahan kepada Kongres mengenai keputusannya untuk mencabut larangan tersebut.
Sesuai dengan hukum AS, setiap transaksi senjata internasional utama harus ditinjau oleh anggota Kongres sebelum disahkan, dan penjualan senjata baru ini diharapkan akan dimulai pada minggu ini.
Namun, keputusan ini bukan tanpa kontroversi. Selama beberapa tahun terakhir, anggota parlemen dari Partai Demokrat dan Republik telah menyuarakan kekhawatiran tentang penyediaan senjata kepada Arab Saudi, mengingat jumlah korban sipil yang besar dalam perang Yaman dan isu-isu hak asasi manusia lainnya.
Perang Yaman sendiri dipandang sebagai salah satu pertempuran proksi terbesar antara Iran dan Arab Saudi, di mana kelompok Houthi yang didukung Iran menggulingkan pemerintahan yang didukung Riyadh pada akhir 2014.
Perang tersebut telah menyebabkan ratusan ribu kematian dan mengakibatkan krisis kemanusiaan yang parah, dengan 80 persen penduduk Yaman kini bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Meskipun AS sebelumnya memberlakukan larangan penjualan senjata ofensif kepada Arab Saudi, pertimbangan geopolitik yang berubah telah mempengaruhi kebijakan tersebut.
Sejak Maret 2022, Arab Saudi dan Houthi menandatangani gencatan senjata yang dipimpin oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang secara signifikan mengurangi serangan udara Saudi ke Yaman.
Hal ini, bersama dengan upaya Kementerian Pertahanan Saudi untuk meningkatkan proses mitigasi bahaya sipil, menjadi faktor penting dalam keputusan AS untuk melanjutkan penjualan senjata.
Keputusan ini datang di tengah meningkatnya ancaman di kawasan Timur Tengah sejak bulan lalu. Iran dan kelompok Hizbullah di Lebanon telah bersumpah untuk membalas Israel setelah pembunuhan kepala politik Hamas, Ismail Haniyeh, di Teheran.
Di sisi lain, Houthi di Yaman telah melakukan serangan terhadap kapal-kapal komersial yang terkait dengan Israel sebagai bentuk solidaritas terhadap warga Palestina, memicu serangan balik dari AS, Inggris, dan Israel.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken telah melakukan serangkaian perjalanan diplomatik ke Arab Saudi untuk membahas paket insentif jika Riyadh bersedia mengakui Israel. Saudi meminta jaminan keamanan, pasokan senjata yang berkelanjutan, dan kesepakatan nuklir sipil sebagai syarat normalisasi hubungan.
Namun, Saudi menegaskan bahwa mereka tidak dapat mengambil langkah ini tanpa adanya kemajuan dalam isu Palestina, sebuah gagasan yang didukung oleh pemerintahan Biden namun ditentang keras oleh Israel.
Perubahan kebijakan ini mencerminkan dinamika geopolitik yang terus berkembang di Timur Tengah, di mana ancaman bersama dan kepentingan strategis memainkan peran kunci dalam hubungan antarnegara.
Di tengah ketegangan yang semakin meningkat, keputusan AS untuk melanjutkan penjualan senjata ke Arab Saudi bisa berdampak signifikan pada stabilitas kawasan tersebut.