Jakarta, Owntalk.co.id – Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), Jenderal Maruli Simanjuntak, mendorong penghapusan pasal yang melarang prajurit TNI berbisnis, dengan harapan perubahan ini dapat terealisasi melalui Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang TNI (RUU TNI). Larangan tersebut tercantum dalam Pasal 39 huruf c.
Menurut Maruli, tidak ada salahnya jika prajurit TNI dibolehkan berbisnis, mengingat banyak prajurit yang terpaksa mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin tinggi, seperti menjadi pengemudi ojek daring.
“Banyak anggota kami yang menjadi pengemudi ojek online untuk menambah penghasilan. Dua sampai tiga jam mengojek bisa lumayan penghasilannya,” kata Maruli di Mabes TNI AD, Jakarta Pusat, Senin (22/7/2024).
Maruli menekankan bahwa selama aktivitas bisnis tidak mengganggu tugas utama prajurit, tidak ada alasan untuk melarangnya.
“Biaya hidup semakin mahal, mulai dari biaya anak sekolah hingga kebutuhan lainnya,” tambahnya.
Ia juga menyarankan agar RUU TNI mencakup batasan yang jelas mengenai jenis bisnis yang diperbolehkan bagi prajurit. Aktivitas seperti membuka warung kelontong atau menjadi pengemudi ojol, menurutnya, sebaiknya tetap diizinkan.
Maruli menegaskan bahwa prajurit yang memiliki pekerjaan sampingan tidak akan diizinkan absen dari apel pagi karena aktivitas sampingannya. “Kami pasti marah kalau ada yang tidak ikut apel pagi,” katanya.
Namun, Maruli juga memastikan bahwa jika ditemukan bisnis ilegal yang melibatkan prajurit TNI, tindakan hukum akan segera diambil. “Jika ada bisnis ilegal, laporkan, dan kami akan bertindak cepat,” ujarnya.
Di sisi lain, Kepala Staf Presiden, Jenderal (Purn.) Moeldoko, tidak setuju dengan usulan tersebut. Mantan Panglima TNI itu khawatir tugas-tugas prajurit akan terbengkalai jika mereka diberi kesempatan berbisnis. “TNI profesional. Jangan bergeser dari itu,” tegas Moeldoko.
Peneliti HAM dan Sektor Keagamaan Setara Institute, Ikhsan Yosarie, berpendapat bahwa aktivitas sampingan yang tidak melibatkan atribut atau kewenangan komando tidak dilarang dalam UU TNI. Namun, ia menilai bahwa mencabut larangan berbisnis dapat berdampak buruk pada profesionalitas TNI.
“Jika usulan ini diakomodasi, bisa menimbulkan praktik buruk seperti menjadi pelindung entitas bisnis,” kata Ikhsan. Ia menyarankan agar perubahan Pasal 39 memberikan definisi dan batasan bisnis yang lebih rinci, bukan menghapus larangan tersebut.
Menurut Ikhsan, penghapusan larangan bisnis bagi prajurit TNI dapat memberikan legitimasi untuk aktivitas komersial yang dapat memanfaatkan aspek keprajuritan untuk kepentingan di luar pertahanan negara, mengembalikan cita-cita reformasi ke titik nol.
Perdebatan mengenai penghapusan larangan bisnis bagi prajurit TNI ini masih berlanjut, dengan berbagai pihak memberikan pandangan yang berbeda terkait dampaknya terhadap profesionalitas dan fungsi utama TNI.