Batam, Owntalk.co.id – Kasus korupsi penggunaan anggaran pada Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) Badan Pengusahaan (BP) Batam yang menjadikan Rudi Martono, ahli Information Technology (IT) dari Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), dan Priyono Al Priyanto, Direktur PT Sarana Primadata Bandung jadi tersangka, memunculkan dua kemungkinan, yakni maladministrasi atau kriminalisasi. Kemungkinan itu akan terkuak setelah memahami fakta bahwa seorang jaksa tinggi menjadi pegawai di BP Batam.
Masih segar dalam ingatan kita, pada Selasa, 12 Juli 2022 lalu, Kepala BP Batam Muhammad Rudi melantik Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara (Asdatun) Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau (Kejati Kepri), Alex Sumarna, menjadi pegawai (baca: makan gaji) di BP Batam. Alex Sumarna menggantikan Mochammad Nasrun sebagai Kepala Biro Hukum dan Organisasi BP Batam. Pejabat dari Kejaksaan Tinggi Kepri, yang tentu saja membawahi Kejaksaan Negeri (Kejari) yang dipimpin oleh Herlina Setyorini.
Padahal, seorang jaksa tinggi adalah bagian dari kuasa kehakiman yang bertindak sebagai wasit dalam penegakan hukum, sementara BP Batam adalah lembaga non pemerintah yang masuk dalam radar pengawasan wasit. Dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2021 pasal 1 ayat 1 disebut: Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.
Regulasi di bidang kejaksaan jelas menyebutkan bahwa jaksa merupakan bagian dari kehakiman yang menjadi wasit dalam penegakan hukum. Tetapi menjadi aneh jika seorang jaksa tinggi menjadi pegawai di BP Batam, diperintah oleh Kepala BP Batam karena menerima gaji sebagai pegawai BP Batam. Eksekutif yang mestinya diawasi oleh jaksa, kini jaksa harus tunduk pada perintah eksekutif yang diawasinya. Apa lagi sebutannya jika bukan ‘menggadaikan’ hukum untuk tunduk pada atasannya, dan untuk mendapat gaji dari atasannya, dan seterusnya, gaji tersebut, jika harus ‘menggadaikan’ penegakan hukum, tidak lebih dan tidak kurang dari seorang penadah, karena yang diterimanya adalah sesuatu yang tidak sesuai hukum.
Dalam penelusuran Owntalk.co.id, keterangan dari Kejari Batam berbeda dengan kenyataannya. Inilah dampak dari kehadiran seorang Jaksa Tinggi (Asdatun) di BP Batam, yang telah memiliki kepentingan lain. Tentu Asdatun yang sudah berubah menjadi Kabiro Hukum BP Batam, telah menjadi bawahan yang mesti tunduk pada perintah (order) atasan. Satu jaksa telah memakai dua baju, satu baju wasit dan satu lagi baju ‘kacung’ dari pemain yang seharusnya diawasinya, sehingga karena telah memakan terlalu banyak gaji dari pemain, tidak tertutup kemungkinan me’lacur’kan diri secara penegakan hukum. Terjadilah praktik penadahan di bidang hukum. Redaksi.
Kembali ke kasus SIMRS BP Batam, masih segar dalam ingatan publik, bahwa yang membuka masalah korupsi dalam pengadaan perangkat lunak SIMRS BP Batam adalah dari pihak internal RSBP Batam. Pelapor menyampaikan indikasi korupsi, karena dana SIMRS pada 2020 sebesar Rp1.260.000.000,00 digunakan tanpa lelang, hanya penunjukan langsung (PL). Tidak jelas apa yang dikerjakan, karena RSBP Batam hanya menggunakan SIMRS milik RS Pelni. Menggunakan sistem milik pihak lain, sebenarnya hanya membutuhkan biaya sewa, atau dalam perangkat lunak disebut Hak Kekayaan Intelektual (HKI), bukan biaya membangun. Kenapa bisa sampai milyaran, dan bukan ditenderkan.
Beda dengan SIMRS BP Batam pada 2018 yang dibangun dari yang tidak ada atau 0 (nol), memerlukan biaya peralatan, ahli atau programer, pengerjaan, pengujian, pengujian ulang, pelatihan, dan evaluasi. Tentu membutuhkan biaya yang cukup besar, sehingga BP Batam ketika itu mengeluarkan dana sebesar Rp2.673.000.000. Proyek itu dikerjakan oleh PT Sarana Primadata (Bandung) dan harus ada lembaga penjamin yang memiliki kompetensi di bidangnya, yakni PT Exindo Information Technology. Berbeda dengan publikasi dari Kejari yang menyebut PT Sarana Primadata sebagai Main Kontraktor, dan PT Exindo Information Technology sebagai Sub Kontraktor.
Dalam penelusuran Owntalk.co.id, keterangan dari Kejari Batam berbeda dengan kenyataannya. Inilah dampak dari kehadiran seorang Jaksa Tinggi (Asdatun) di BP Batam, yang telah memiliki kepentingan lain. Tentu Asdatun yang sudah berubah menjadi Kabiro Hukum BP Batam, telah menjadi bawahan yang mesti tunduk pada perintah (order) atasan. Satu jaksa telah memakai dua baju, satu baju wasit dan satu lagi baju ‘kacung’ dari pemain yang seharusnya diawasinya, sehingga karena telah memakan terlalu banyak gaji dari pemain, tidak tertutup kemungkinan me’lacur’kan diri secara penegakan hukum. Terjadilah praktik penadahan di bidang hukum.
Undang-Undang nomor 11 tahun 2021 pasal 2 ayat 1 sebenarnya menegaskan bahwa Kejaksaan dalam menjalankan fungsinya yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dilaksanakan secara merdeka. Tetapi, bagaimana bisa merdeka, jika jaksa setingkat Asdatun telah ‘melacurkan’ dirinya, tunduk pada Kepala BP Batam, apakah demi kedudukan, demi gaji atau demi penghasilan lainnya di BP Batam, hanya Alex Sumarna yang tahu. Yang diketahui publik, adalah bahwa: (1) Pimpinan dan karyawan BP Batam tidak boleh melanggar hukum, dan (2) Jika melanggar hukum kembali ke nomor (1). Kemungkinan besar, itulah manfaat kehadiran Asdatun di BP Batam.
Kasus ini seharusnya menjadi perhatian Ombudsman RI di Kepulauan Riau. Sebab dalam Undang-Undang RI nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman RI, pada pasal 1 ayat 3 disebut: Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Biro Hukum BP Batam dari penelusuran Owntalk.co.id, telah melampaui kewenangannya. Meloloskan kasus SIMRS BP Batam 2020, karena yang terlibat di sana adalah sejumlah pejabat internal BP Batam, dan menjerat pelaku di SIMRS BP Batam 2018, karena yang terlibat di sana adalah eksternal BP Batam. Padahal, faktanya, produk SIMRS BP Batam yang dibuat pada 2018 masih digunakan hingga saat ini, setidaknya database dan sebagian dari aplikasi yang dibangun. Seharusnya Kejari mengejar penggunaan SIMRS PT Pelni yang hanya membayar royalti milik RS PT Pelni, bukan mengejar proyek SIMRS BP Batam 2018 yang membangun aplikasi dan dimanfaatkan hingga sekarang.
Seharusnya Kejari Batam mengejar Direktur Keuangan Rumah Sakit PT PELNI, Mohamad Kartobi, yang meneken perjanjian antara RSBP Batam dengan RS PT PELNI. Sebab proyek itu disebut tidak sesuai dengan Perpres nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, karena menunjuk langsung proyek senilai Rp1,2 miliar, serta hasil pekerjaannya tidak ada, kecuali rental aplikasi milik PT PELNI. Mungkinkah Kejari Batam bersedia memperbaiki kekeliruan itu, kita sebagai rakyat hanya dapat menunggu. (Bersambung)