Oleh : Abdul Salam Ahmad
​Langkah KPU membatalkan aturan yang merahasiakan ijazah capres-cawapres adalah sebuah respons penting terhadap dinamika politik yang terjadi. Kebijakan ini tidak bisa dipisahkan dari polemik yang sempat memanaskan ruang publik beberapa waktu lalu, khususnya terkait keabsahan ijazah Presiden Jokowi. Polemik itu menunjukkan betapa rapuhnya kepercayaan yang dibangun di atas informasi yang tidak dapat diverifikasi secara bebas.
​Ketika dokumen krusial seperti ijazah dianggap rahasia, ia menjadi lahan subur bagi spekulasi dan tuduhan. Meskipun pihak terkait, seperti kampus asal, sudah memberikan klarifikasi, keraguan tetap bersemayam karena dokumen fisik tidak dapat diakses secara langsung oleh publik. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan yang melelahkan, di mana isu terus-menerus diulang dan menjadi senjata politik, terlepas dari fakta yang sesungguhnya.
​Keputusan KPU untuk membuka dokumen ijazah adalah cara efektif untuk memutus rantai keraguan tersebut. Ini adalah pelajaran berharga dari masa lalu yang diproyeksikan untuk masa depan. KPU mengambil inisiatif untuk memastikan bahwa kontestasi politik di kemudian hari tidak lagi terhambat oleh isu-isu personal yang seharusnya bisa diselesaikan dengan transparansi. Ini adalah langkah proaktif yang menunjukkan komitmen untuk membangun iklim politik yang lebih sehat dan berlandaskan kejujuran.
​Secara fundamental, kebijakan ini adalah tentang menempatkan integritas sebagai standar utama. Ini adalah pengakuan bahwa pemimpin yang dipilih harus memiliki latar belakang yang dapat dipertanggungjawabkan, dan publik berhak penuh untuk mengetahui hal itu. Dengan menanggalkan kerahasiaan, KPU tidak hanya menyelesaikan masalah teknis, tetapi juga secara simbolis meletakkan fondasi baru bagi demokrasi yang lebih matang, di mana kebenaran lebih dihargai daripada misteri.