Jakarta, Owntalk.co.id – Puasa Ramadhan, kewajiban yang jika ditinggalkan, harus diganti. Bagi yang batal atau tidak mengerjakan puasa Ramadhan karena alasan apapun, setiap Muslim wajib menggantinya di hari lain atau membayar fidyah, tergantung latar belakang batalnya.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 185:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya, “Siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan Ramadhan, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah: 185).
Sebagaimana puasa dan ibadah pada umumnya, niat menjadi kunci utama. Untuk mengqadha puasa, terdapat niat khusus yang harus dilafalkan dalam hati pada malam harinya.
Lafal niat qadha puasa Ramadhan adalah:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin ‘an qadhā’i fardhi syahri Ramadhāna lillâhi ta‘âlâ.
Artinya, “Aku berniat untuk mengqadha puasa bulan Ramadhan esok hari karena Allah SWT.”
Ustadzah Suci Amalia menjelaskan bahwa perbedaan niat qadha puasa Ramadhan dengan puasa Ramadhan biasa terletak pada kata “qadhā” dan “adā”. Penyebutan ini membedakan puasa yang dikerjakan pada waktunya (adā) atau di luar waktu (qadhā).
Niat puasa Ramadhan, baik adā maupun qadhā, sama-sama dilakukan pada malam hari, sebelum waktu fajar tiba. Hal ini berdasarkan penjelasan Imam Khatib As-Syirbini dalam kitab Al-Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi Syuja’:
“Disyaratkan berniat di malam hari untuk puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa qadha, atau puasa nadzar. Ketentuan ini mengacu pada hadits Rasulullah SAW, “Siapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tiada puasa baginya.” Karenanya, tidak ada jalan lain kecuali berniat puasa di waktu malam setiap hari berdasar pada redaksi zahir hadits.”