Jakarta, Owntalk.co.id – Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi menyatakan niatnya untuk melarang aplikasi e-commerce lintas negara asal China, Temu, beroperasi di Indonesia.
Temu, yang beroperasi dengan model bisnis Factory to Consumer (F2C), memungkinkan konsumen membeli barang langsung dari pabrik, menjadikan harga produk jauh lebih murah dibandingkan platform e-commerce lokal seperti Tokopedia, Shopee, atau Bukalapak.
Namun, kehadiran aplikasi ini dianggap akan mengancam ekosistem Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia.
Menurut Budi Arie, harga murah yang ditawarkan Temu dapat merusak persaingan bisnis dan membuat UMKM lokal kesulitan bersaing.
“Kami akan melarang Temu beroperasi. Jika dibiarkan, UMKM kita bisa hancur,” tegas Budi Arie, seperti dikutip dari AntaraNews, Kamis (3/10/2024).
Budi Arie mengungkapkan bahwa pasar digital di Indonesia seharusnya menjadi wadah untuk UMKM berkembang, bukan tempat bagi produk asing untuk mendominasi dengan harga yang lebih murah.
Ia menilai bahwa kehadiran Temu hanya akan memperparah kondisi ekonomi UMKM yang saat ini tengah menghadapi tantangan besar.
Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, juga menyuarakan kekhawatiran serupa.
Menurutnya, Temu bahkan lebih berbahaya daripada TikTok Shop, karena model bisnisnya tidak melibatkan reseller atau afiliator, yang selama ini berperan dalam menciptakan lapangan kerja di Indonesia.
“Temu langsung menghubungkan produsen dengan konsumen tanpa perantara, dan ini memotong banyak aspek dalam rantai distribusi. Ini lebih berbahaya karena selain menawarkan harga yang jauh lebih murah, juga memangkas lapangan pekerjaan yang berhubungan dengan distribusi,” jelas Teten.
Teten menambahkan bahwa pabrikan di China mampu memproduksi barang secara massal dengan biaya rendah, sementara pelaku UMKM di Indonesia memiliki keterbatasan dalam hal kapasitas produksi. Ketidakadilan ini membuat UMKM semakin sulit bersaing di pasar digital.
“Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 yang melarang penjualan produk di bawah 100 dolar AS secara cross-border diharapkan bisa mengantisipasi dampak dari aplikasi seperti Temu,” lanjut Teten.
Ia juga menyampaikan bahwa saat ini indeks bisnis UMKM sedang turun, sehingga kebijakan yang melindungi pelaku usaha lokal sangat diperlukan.
Temu, yang didirikan pada Juli 2022, saat ini sudah merambah ke 58 negara dan berpusat di Boston, Amerika Serikat. Meskipun berbasis di AS, Temu dimiliki oleh PDD Holdings, sebuah konglomerat asal China.
Aplikasi ini sudah diunduh lebih dari 100 juta kali di Google Play Store, dengan rating 3,5 dari 5 dan lebih dari 4 juta ulasan.
Keunggulan Temu yang menawarkan harga sangat murah, seperti sepatu seharga Rp 141.000, jauh lebih rendah dibandingkan harga di platform lain, membuatnya populer di Amerika Serikat.
Selain itu, Temu juga memberikan berbagai insentif kepada pelanggan, seperti kredit yang dapat digunakan untuk pembelian berikutnya, serta hadiah bagi mereka yang mempromosikan aplikasinya.
Meski Temu telah meraih kesuksesan di luar negeri, pemerintah Indonesia melihat potensi ancaman besar yang dapat mengganggu ekonomi digital dan merugikan pelaku UMKM.
Jika langkah pelarangan ini dilakukan, pemerintah berharap dapat menjaga stabilitas ekonomi lokal dan melindungi pelaku usaha kecil dari dominasi produk asing yang lebih murah.