Jakarta, Owntalk.co.id – Kepala Staf Presiden Moeldoko menegaskan bahwa ide mencabut larangan berbisnis bagi anggota aktif TNI dalam revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tidak akan mengubah substansi kerja prajurit TNI.
Larangan berbisnis ini tercantum dalam Pasal 39 UU TNI, yang melarang prajurit terlibat dalam politik praktis, bisnis, dan jabatan politis.
“Pasal 39 (UU TNI) yang menyatakan TNI dilarang berbisnis dihapuskan. Apakah ini mengubah substansi? Tidak ada yang berubah,” kata Moeldoko dalam program ROSI Kompas TV, Jumat (26/7/2024).
Menurut Moeldoko, definisi prajurit profesional sudah mencakup larangan berpolitik dan berbisnis, sehingga penghapusan pasal ini tidak akan mempengaruhi esensi kerja TNI.
Moeldoko beralasan bahwa pasal sebelumnya mungkin dimuat karena perumus terlalu bersemangat.
“Dulu mungkin yang membuat terlalu semangat, berlebihan semangatnya. Ditambah lagi di pasal 30 TNI dilarang politik praktis, dilarang berbisnis. Ini kan terlalu semangat,” ujarnya.
Ia juga meminta publik untuk berpikir jernih terhadap revisi UU TNI, dengan menekankan bahwa pengertian prajurit yang boleh berbisnis tidak sama dengan anggota keluarganya yang menjalankan bisnis.
“Kalau istrinya atau anaknya mau berbisnis, jangan dibilang dia prajurit. Kalau istrinya buka warung, siapa yang melarang? Haknya orang kok,” jelas Moeldoko.
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak berharap personelnya diizinkan berbisnis, dan mengakui ada sejumlah prajurit yang menjadi ojek online sebagai pekerjaan sampingan.
Namun, revisi UU TNI yang memungkinkan prajurit berbisnis mendapat kritik dari banyak pihak.
Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, menegaskan bahwa pembuat kebijakan seharusnya tidak membiarkan wacana mencabut larangan berbisnis bagi anggota aktif TNI berlanjut.
Menurutnya, amanat Reformasi 1998 adalah menjadikan TNI alat pertahanan negara yang profesional dan tidak terlibat dalam jabatan publik serta memberi batas tegas terhadap kehidupan warga sipil.
“Alih-alih menghapus larangan berbisnis bagi TNI aktif, pemerintah dan TNI seharusnya fokus menyejahterakan prajurit, bukan mendorong mereka berbisnis,” tegas Gufron.
Kontroversi ini mencerminkan perdebatan mendalam mengenai peran TNI dalam kehidupan sipil dan profesionalisme militer. Meskipun beberapa pihak mendukung penghapusan larangan berbisnis, banyak yang khawatir langkah ini dapat merusak prinsip dasar Reformasi 1998 dan profesionalisme TNI.