Jakarta, Owntalk.co.id – Pemerintah berencana menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atauPemerintah Akan Naikkan Tarif Cukai Rokok, Layer Disederhanakan cukai rokok pada tahun depan. Selain itu, pemerintah juga berencana menyederhanakan tingkatan tarif atau layer cukai rokok. Langkah ini dituangkan dalam Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM & PPKF) tahun 2025.
Pada tahun 2023 dan 2024, pemerintah telah menaikkan rata-rata tarif CHT sebesar 10 persen, dengan cukai rokok saat ini memiliki 8 layer tarif. “Intensifikasi kebijakan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) melalui tarif bersifat multiyears, kenaikan tarif yang moderat, penyederhanaan layer, dan mendekatkan disparitas tarif antar layer,” tulis pemerintah dalam KEM PPKF 2025 yang dikutip kumparan, Sabtu (20/7).
Meski demikian, besaran tarif cukai rokok dan rokok elektrik pada 2025 masih akan dibahas lebih lanjut oleh pemerintah dan DPR RI. Nantinya, besaran tarif tersebut akan tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Penyederhanaan layer cukai rokok dianggap oleh sebagian pihak dapat menggerus penerimaan negara. Akademisi Unpad, Wawan Hermawan, menilai bahwa penyederhanaan layer cukai rokok justru berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal di Indonesia.
“Harga rokok (legal) dari Rp 25-30 ribu, dibanding (rokok ilegal) yang Rp 10-15 ribu, sangat menurunkan minat terhadap rokok legal. Jadi, merokok rokok legal menjadi suatu kemewahan bagi kalangan bawah atau 40 persen masyarakat dengan pendapatan terendah,” ujar Wawan.
Tekanan ekonomi yang semakin tinggi juga mendorong masyarakat untuk beralih ke rokok yang lebih murah, termasuk rokok ilegal. Menurut Wawan, prevalensi merokok di kalangan masyarakat berpendapatan rendah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kalangan berpenghasilan menengah ke atas.
“Yang utama adalah harga rokok yang sangat tinggi relatif terhadap pendapatan masyarakat. Hal ini dipicu oleh prevalensi merokok yang masih tinggi dan budaya rokok sebagai alat sosial di masyarakat. Selain itu, penegakan hukum terhadap produsen rokok juga masih lemah,” jelasnya.
Berdasarkan survei Indodata, sebanyak 28,12 persen dari 2.500 responden di Indonesia mengonsumsi rokok ilegal. Direktur Eksekutif Indodata, Danis TS Wahidin, menjelaskan bahwa survei ini dilakukan untuk mengkaji hubungan antara tingginya cukai rokok resmi dan peredaran rokok ilegal.
“Kenaikan harga rokok memengaruhi perilaku perokok, tapi tidak membuat mereka berhenti merokok. Yang terjadi adalah peralihan dari rokok premium ke rokok standar, bahkan perokok berpindah menjadi mengonsumsi rokok ilegal,” kata Danis.
Danis menambahkan, konsumsi rokok ilegal tersebut jika dikonversi dengan pendapatan negara yang hilang, angkanya bisa mencapai Rp 53,18 triliun.
Temuan ini menunjukkan bahwa peredaran rokok ilegal masih menjadi masalah serius yang memerlukan perhatian lebih dari pemerintah.
“Pemerintah perlu mempertimbangkan langkah-langkah komprehensif untuk mengatasi masalah ini, termasuk memberikan dukungan lebih kepada industri rokok rumahan serta memperketat pengawasan dan penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal,” pungkasnya.
Langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam kebijakan cukai rokok diharapkan dapat mengurangi dampak negatif ekonomi dan sosial yang ditimbulkan, serta memastikan penerimaan negara tetap optimal.