Jakarta, Owntalk.co.id – Revisi Undang-Undang Polri yang diajukan sebagai inisiatif oleh DPR menuai polemik. Sejumlah pasal dalam usulan tersebut dinilai memperluas kewenangan polisi secara signifikan, salah satunya adalah kewenangan untuk memblokir hingga memutus akses internet.
Klausul kontroversial ini tertuang dalam Pasal 16 ayat 1 huruf q, yang berbunyi:
“Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 di bidang proses pidana, Polri berwenang untuk melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses Ruang Siber untuk tujuan Keamanan Dalam Negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi.”
Draf UU tersebut mendefinisikan ruang siber sebagai ruang di mana setiap orang dan/atau komunitas saling terhubung menggunakan jaringan di bidang teknologi informasi dan komunikasi.
Dengan kata lain, polisi bakal memiliki kewenangan untuk memutus akses internet dengan alasan keamanan dalam negeri.
Keamanan dalam negeri yang dimaksud dalam pasal tersebut dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 8, yang mendefinisikannya sebagai suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tegaknya hukum, serta terselenggaranya pelindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Penindakan di ruang siber ini merupakan pengembangan dari Pasal 14, yang memberikan kewenangan baru kepada polisi untuk menangani kejahatan di ruang siber.
Ini merupakan klausul baru yang tidak ada dalam UU Polri Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Meskipun penanganan kejahatan di ruang siber merupakan hal baru dalam undang-undang ini, polisi sebenarnya sudah memiliki Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) sejak 25 Februari 2021.
Direktorat ini dibentuk berdasarkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.
Dittipidsiber adalah satuan kerja di bawah Bareskrim Polri yang bertugas untuk menegakkan hukum terhadap kejahatan siber. Direktorat ini menangani dua kelompok kejahatan utama, yaitu computer crime dan computer-related crime.
Namun, kewenangan Dittipidsiber terbatas pada pengawasan dan penindakan, tidak termasuk memutus akses internet seperti yang diusulkan dalam draf revisi UU Polri.
Kewenangan memblokir dan memutus akses internet menimbulkan kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran terhadap kebebasan berinternet.
Publik dan berbagai kalangan meminta agar revisi ini dikaji ulang secara mendalam untuk memastikan bahwa penambahan kewenangan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.