Jakarta, Owntalk.co.id – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan maladministrasi dalam penanganan Proyek Strategis Nasional Rempang Eco City (REC). Penyimpangan itu menyangkut kelalaian, penundaan berlarut, dan langkah-langkah yang tidak prosedural dalam konteks pengembangan Rempang Eco City, termasuk penahanan 32 warga Rempang.
”Kami telah mengadakan pemantauan sejak September 2023 s.d awal Januari 2024. Hasilnya, kami menemukan adanya maladministrasi dalam pengembangan Rempang Eco City. Dan, Ombudsman RI meminta penegakan hukum agar dapat menyelesaikan kasus hukum terhadap 32 orang yang ditangkap dan ditahan hingga saat ini agar dilakukan Restorative Justice,” kata Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro, dalam Jumpa Pers secara langsung dan online di Kantor ORI, Jakarta, Senin, 29/1/2024.
Pihak ORI, kata Johanes, telah menyampaikan koreksi dan rekomendasi kepada lima lembaga, antara lain Kepolisian RI, Kementerian Agraria dan Tata ruang (ATR), Kementerian Investasi, dan BP Batam. Namun ORI tidak menjelaskan secara rinci koreksi dan rekomendasi yang disampaikan kepada instansi itu. Pihak ORI, kata Johanes, telah menyusun Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dan diserahkan ke instansi terkait sesuai dengan kewenangannya.
Salah satu persoalan yang disorot ORI, adalah peristiwa pada 7 dan 11 September 2023. Terseretnya sekitar 32 orang warga Rempang yang menolak relokasi warga tradisional, yang kini masih menjalani proses sidang di Pengadilan Negeri (PN) Batam, merupakan upaya mempertahakan hak-hak dasar dari warga yang telah turun-temurun berada di Rempang.
Perlawanan yang dilakukan oleh warga, menurut pandangan kami, merupakan upaya memperjuangkan hak-haknya untuk tidak direlokasi. Dalam masalah ini, Ombudsman meminta pihak penegak hukum agar mengedepankan restorative justice. Sebab argumentasinya, mereka (warga yang tertangkap dan sekarang menjalani persidangan di PN Batam) sedang berjuang untuk mempertahankan hak-haknya agar tetap tinggal di sana (di pemukiman tradisional tempat tinggal mereka), dan agar tidak direlokasi.
Johanes Widijantoro, Anggota Ombudsman RI, Jakarta.
”Perlawanan yang dilakukan oleh warga, menurut pandangan kami, merupakan upaya memperjuangkan hak-haknya untuk tidak direlokasi. Dalam masalah ini, Ombudsman meminta pihak penegak hukum agar mengedepankan restorative justice. Sebab argumentasinya, mereka (warga yang tertangkap dan sekarang menjalani persidangan di PN Batam) sedang berjuang untuk mempertahankan hak-haknya agar tetap tinggal di sana (di pemukiman tradisional tempat tinggal mereka), dan agar tidak direlokasi,” kata Johanes.
Itwasum Polri Irwil V, Brigjen Pol Gatot Tri Suryanta, menjelaskan tindakan yang dilakukan kepolisian lebih menekankan kepada aspek hukum keamanan. ”Kita akan menindak lanjuti rekomendasi dari pihak Ombudsman RI dan penegakan hukum, serta memelihara keaman dan ketertiban. Polri bukan satu-satunya (dalam menangani masalah hukum), tetapi Polri lebih menekankan pada pemeliharaan kemanan dan pengayoman kepada masyarakat. Nanti Ombudsman akan melaporkan juga perkembangan setelah menerima rekomendasi,” kata Gatot.
Anggota Bidang III Pengelolaan Kawasan, Badan Pengusahaan (BP) Batam, Sudirman Saad menyebut BP Batam, mengatakan pihaknya telah membentuk Tim Percepatan Pengembangan Rempang Eco City (REC). Saat ini BP Batam telah memulai tahap 1 pembangunan rumah contoh atau rumah awal. Mereka akan membangun 1000 unit rumah di Tanjung Banun dengan luas rumah 45 m2 dan luas tanah 500 m2. Rumah itu hanya diperuntukkan bagi yang telah bersedia direlokasi.
Untuk tahap pertama BP Batam akan membebaskan 2.300 hektar, dan tahap berikutnya 17.600 hektar, termasuk 17.000 hektar di Pulau Rempang, 300 ha di Pulau Setokok, dan 300 ha di Pulau Galang. Sebanyak 961 Kepala Keluarga (KK) yang akan direlokasi sesuai catatan di Dinas Penduduk dan Catatan Sipil (Disdukcapil). Pada semester I sampai Juni 2024 akan didata warga terdampak, dan selanjutnya akan direlokasi seluruhnya dari Pulau Rempang.
BP Batam, kata Sudirman, akan menyusun kebijakan berupa Peraturan Kepala (Perka) BP Batam untuk memastikan hak-hak warga terdampak terpenuhi. Tim Terpadu, kata Sudirman, termasuk di dalamnya 4 orang pimpinan Lembaga Adat Melayu (LAM), unsur Pimpinan Perguruan Tinggi, Alim Ulama dan Tokoh Masyarakat. (*)