Jakarta, Owntalk.co.id – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sedang gencar mengembangkan program produksi pakan ikan mandiri untuk mendukung perikanan budidaya yang efisien dan berkelanjutan. Program ini berfokus pada penggunaan bahan baku lokal dan pengelolaan pakan sesuai dengan standar dan sertifikasi yang ketat.
Menurut Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya, Tb Haeru Rahayu, pakan ikan memiliki peran sentral dalam keberhasilan usaha budidaya ikan. Biaya pakan ikan dalam kegiatan budidaya mencapai 60-70 persen dari total biaya. Dalam upaya untuk menghadapi tantangan ini, pemerintah Indonesia melalui KKP mengadopsi dua strategi kunci.
Pertama, strategi jangka menengah (2021-2024) berfokus pada penggunaan bahan baku lokal dan manajemen pakan yang lebih efisien. Sementara itu, strategi jangka panjang (2025-2045) menekankan penggunaan bahan baku nabati dan lokal yang sesuai dengan nutrisi spesifik komoditas.
Salah satu tujuan dari strategi jangka panjang hingga tahun 2045 adalah memproduksi pakan ikan yang ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem. Pemerintah berambisi untuk mencapai swasembada pakan ikan nabati pada tahun 2045.
Untuk mencapai target ini, KKP telah menetapkan sasaran produksi perikanan budidaya nasional pada tahun 2024 sekitar 22,65 juta ton, dengan sekitar 45,56 persen berupa ikan dan udang yang memerlukan sekitar 13,37 juta ton pakan.
Dalam rangka memastikan kualitas pakan yang berkualitas dan aman, KKP telah memperkenalkan sertifikat pendaftaran pakan ikan (CPPIB).
Sertifikat CPPIB diberikan kepada setiap jenis dan merek pakan ikan dan berlaku selama 5 tahun dengan kemungkinan perpanjangan. Produsen pakan ikan lokal dan importir juga diwajibkan memegang sertifikat yang sesuai dengan regulasi.
Hingga Oktober 2023, tercatat 1.631 merek pakan ikan yang terdaftar di Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang terdiri dari merek produksi impor dan lokal.
Profesor Dedi Jusadi, akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), menyoroti pentingnya pengembangan bahan baku pakan ikan berbasis perairan yang tidak bersaing dengan kepentingan manusia, tetapi bisa diproduksi secara massal.
Salah satu contohnya adalah Ulva atau Selada Laut, sejenis rumput laut hijau yang banyak terdapat di perairan Indonesia. Pengembangan bahan baku ini dapat mengurangi ketergantungan pada bahan impor.
“Ulva potensial untuk dibudidayakan pada skala komersial di perairan pesisir Indonesia, terutama untuk memanfaatkan tambak-tambak idle, atau terintegrasi sebagai fitoremediator. Pengembangan budidaya Ulva perlu diinisiasi oleh pemerintah bersama-sama perguruan tinggi, lembaga riset, dan stakeholder lainnya,” tandas Dedi.
Andhi Trapsilo dari PT Suri Tani Pemuka juga memberikan dukungan terhadap program pemerintah untuk memproduksi pakan ikan yang sesuai dengan standar dan kebutuhan.
Produsen pakan ikan bergabung dalam GPMT bersedia mendukung pemerintah dalam menjaga keberlanjutan pakan ikan dan udang. Mereka bertekad untuk mengurangi penggunaan fish meal impor dan memanfaatkan bahan baku lokal guna memenuhi kebutuhan pasar global.
Pengembangan pakan ikan mandiri adalah langkah penting untuk mendukung pertumbuhan perikanan budidaya Indonesia yang berkelanjutan dan berkualitas.
Ini sejalan dengan visi KKP untuk mencapai swasembada pakan ikan nabati pada tahun 2045 dengan memerhatikan keseimbangan ekologis dan keberlanjutan sumber daya perairan.