World Water Forum Jadi Wadah Kolaborasi Global Sikapi Perubahan Iklim

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati. (Dok; Tangkapan Layar Kanal Youtube FMB9)

Jakarta, Owntalk.co.id – Perlunya kolaborasi global dalam menghadapi ancaman krisis air di masa mendatang akibat perubahan iklim. Forum Air Dunia (World Water Forum – WWF) yang akan diadakan di Bali pada 18-24 Mei 2024 dianggap sebagai momentum krusial untuk membahas dan mengatasi tantangan ini.

Hal ini disampaikan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, dalam acara Forum Merdeka Barat (FMB9) yang disiarkan secara daring pada Senin (16/10/2023).

BMKG memproyeksikan bahwa beberapa tahun ke depan akan muncul hot spot air atau wilayah kekeringan di berbagai negara, termasuk yang masih berkembang ataupun maju, sebagai dampak dari perubahan iklim.

Dwikorita menekankan bahwa perubahan iklim memberikan tekanan khusus pada daerah dengan sumber daya air yang sudah langka, dan kolaborasi global diperlukan untuk mengatasi dampak tersebut.

“Perubahan iklim itu memberikan tekanan pada daerah dengan sumber daya air yang pada dasarnya sudah langka. Meskipun secara global Indonesia tidak termasuk, namun kita tidak boleh happy dulu karena secara lokal pasti berdampak,” ucap Dwikorita.

Dalam konteks ini, FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) telah meramalkan potensi krisis air sebagai konsekuensi dari perubahan iklim, yang dapat mengakibatkan kelaparan pada tahun 2050 karena penurunan hasil panen dan gagal panen.

Dwikorita mengungkapkan bahwa setiap negara saat ini mengalami dampak perubahan iklim yang beragam, termasuk cuaca ekstrem, bencana alam, penurunan keanekaragaman hayati, penurunan muka air laut, dan krisis air.

Oleh karena itu, World Water Forum di Bali dianggap sebagai platform krusial yang dapat melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam menghadapi tantangan global ini.

Indonesia, melalui peranannya dalam keketuaan WWF ke-10, diharapkan dapat menjadi penengah efektif antara negara maju dan berkembang. Dwikorita menekankan bahwa negara-negara miskin lebih rentan terhadap dampak krisis air akibat kurangnya kapasitas pengetahuan dan teknologi.

“Indonesia, dengan keahlian dan teknologinya, dapat memfasilitasi pertukaran pengetahuan dan teknologi dalam mencegah krisis air yang diakibatkan oleh perubahan iklim sudah cukup baik, sehingga dalam forum tersebut pemerintah bisa menyuguhkan konsep blended antara teknologi dan kearifan lokal yang dimiliki Indonesia,” imbuhnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *