Opini  

Rempangku Sayang

Foto : Simon Payung Masan.

Catatan : Simon Payung Masan

Mencermati Pro Kontra Investasi di Rempang

Rempang, sebuah pulau kecil yang terletak di provinsi Kepri itu tiba-tiba melejit viral karena adanya rencana pemerintah memasukkan investor asing ke pulau ini.

Tidak main-main, nilai investasinya pun terbilang jumbo, yakni lebih kurang US$ 11,5 miliar, kalau di rupiah kan mungkin sekitar Rp 170-an triliun.

Pro dan kontra terjadi, arus penolakan kian meningkat. Terjadi demo dari kota Batam bahkan sampai Ibukota Jakarta.

Bagi yang “pro” mereka menyambut baik kehadiran investor ini karena akan berdampak positif dalam banyak segi kehidupan kedepannya dan berkepanjangan demi kemakmuran masyarakat di pulau tersebut.

Bagi yang “pro” Masyarakat perlu diungsikan dan menjauh dari daerah pabrik semata-mata untuk melindungi masyarakat itu sendiri dari polusi produksi pabrik itu karena tidak baik bagi kesehatan.

Sementara bagi yang “kontra” mereka keberatan dengan rencana pemerintah merelokasi kampung tua. Silahkan investasi masuk tetapi kampung-kampung tua jangan sampai di relokasi.

Bagi yang “kontra” mereka juga meminta agar presiden Jokowi memenuhi janjinya untuk menerbitkan sertifikat untuk seluruh kampung tua yang ada di Batam dan melestarikannya.
Sebagai tokoh masyarakat, menyaksikan aksi-aksi demo yang kian liar dengan mengatasnamakan membela orang melayu dan tanah Melayu sangat memperihatinkan.

Karena jika tekanan ini sampai benar-benar berimbas pada pemerintah membatalkan investasi ini, justru yang rugi adalah pulau Rempang, tanah Melayu dan masyarakat yang mendiami pulau Rempang itu sendiri.

Warga Flores NTT bagian dari Masyarakat Rempang

Sebagai tokoh masyarakat Flores NTT di daerah ini, kami juga ingin mengkritisi pernyataan menteri Bahlil tentang HAK KESULUNGAN.

Dalam pertemuannya dengan tokoh masyarakat dan masyarakat pulau Rempang, menteri Bahlil menegaskan bahwa “hak-hak rakyat tetap kita jaga, hak-hak kultural rakyat sebagai hak kesulungan juga kita hargai”.

Jangan sampai dengan adanya Hak Kesulungan ini, yang notabene identik dengan masyarakat Melayu saja nantinya. Bagi masyarakat bukan Melayu akhirnya kehilangan hak mereka walaupun sudah lama mereka hidup bersama secara rukun disana.

Perlu diketahui juga oleh pemerintah bahwa warga Flores NTT yang sudah beranak pinak dengan beristrikan gadis Melayu di tempat ini, selain bertani dan nelayan, mereka juga berusaha mencerdaskan anak-anak pulau ini dengan mendirikan sekolah yang kini sudah diserahkan kepada gereja katolik yakni keuskupan Pangkalpinang. Mereka tersebar didaerah Sungai Raya, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang.

Harapan kami, pemerintah mesti benar-benar harus jeli agar tak ada kelompok yang dirugikan dan tak terperhatikan. Pemerintah harus menggunakan langkah-langkah humanis sehingga masyarakat bisa menerima dan merasa puas.

(Penulis adalah Tokoh Masyarakat Flores NTT yang lahir dan tinggal di Batam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *