* Ribuan Nelayan Kecil Siap Melakukan Aksi
Batam, Owntalk.co.id – Lembaga Adat Kesultanan Riau Lingga (RAKRL) bersama Suku Laut dan nelayan kecil di Kepulauan Riau meminta rencana ekspor pasir laut dihentikan. Jika pemerintah memaksakan kehendak untuk mengeruk pasir laut, ribuan nelayan siap pasang badan di laut mencegah kegiatan itu.
Sebelumnya, pemerintah melarang ekspor pasir laut sejak 2003 di era Presiden Megawati Soekarnoputri. Larangan itu disampaikan melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Rini MS Soewandi. Larangan itu diterbitkan karena tidak sebanding antara hasil yang diperoleh dengan kerugian yang dialami oleh Indonesia.
Menurut mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri mencatat nilai kerugian yang dialami Indonesia mencapai Sin $42,38 miliar (setara dengan Rp426 triliun). Padahal, menurut Wakil Sekretaris Pandu Laut Nusantara, Suhana, nilai ekspor pasir laut pada 2002 hanya US $70.000 (setara dengan Rp1 miliar) dan pajaknya di bawah nilai tersebut, sehingga total nilai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) kurang dari Rp2 miliar.
”Sangat disayangkan Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimen, yang dijadikan dasar untuk mengeruk pasir laut. Semua lokasi penambangan pasir laut yang telah dipetakan berada di daerah tangkapan ikan nelayan kecil. Itu berarti pemerintah ingin membumi-hanguskan nelayan kecil yang menggantungkan hidupnya dari menangkap ikan tidak jauh dari pantai,” kata Juru Bicara LAKRL, Said Ubaydillah, kepada Owntalk.co.id, Senin, 5/6/2023.
Belum lagi, kata Said Ubaydillah, ratusan ribu jiwa masyarakat nelayan di Kepulauan Riau yang menggantungkan hidupnya dari tangkapan ikan. Mereka terdiri dari Suku Laut dan nelayan tradisional Melayu yang semakin sulit mencari nafkah akibat polusi dan kerusakan laut. ”Karena karang di dasar laut akan dirusak, pasir tempat ikan bermain akan dikeruk, dan tinggal lumpur hasil pencucian pasir laut yang akan menutupi biota ikan di laut,” katanya.
Fakta nyata dalam pengerukan pasir laut, kata Said Ubaydillah, adalah pasir yang dikeruk dicuci dulu di tempat, lalu diangkut ke Singapura. Hasil pengerukan dan cucian pasir laut itu menimbulkan air laut yang pekat dan menghitam akibat pencucian pasir. ”Sedimen lumpur dari dasar laut dikacau di dalam air, sehingga semua ikan akan menjauh karena tidak bisa hidup di dalam air yang kotor akibat pengerukan dan pencucian pasir. Sama saja membinasakan mata pencaharian nelayan kecil yang hanya mampu menangkap ikan beberapa kilometer dari garis pantai,” ucap Ubaydillah.
Menurut mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri mencatat nilai kerugian yang dialami Indonesia mencapai Sin $42,38 miliar (setara dengan Rp426 triliun). Padahal, menurut Wakil Sekretaris Pandu Laut Nusantara, Suhana, nilai ekspor pasir laut pada 2002 hanya US $70.000 (setara dengan Rp1 miliar) dan pajaknya di bawah nilai tersebut, sehingga total nilai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) kurang dari Rp2 miliar. Said Ubaydillah, Juru Bicara Lembaga Adat Kesultanan Riau Lingga
Said Ubaydillah bersama sejumlah tokoh Suku Laut, berkumpul di kawasan Sekupang, Batam, untuk mempersiapkan gerakan melawan pengerukan pasir untuk ekspor ke Singapura. ”Kami tahu banyak pengusaha di Batam dan daerah lain di Kepulauan Riau yang telah berusaha untuk mengaktifkan kembali pengerukan pasir untuk diekspor. Mereka orang-orang yang haus dan serakah tanpa memperhatikan kehidupan masyarakat nelayan yang telah menghuni daerah Kepulauan Riau. Untuk apa mereka menimbun harta jika saudara-saudara nelayan mengalami musibah hingga turun-temurun,” kata Said Ubaydillah dengan nada sedih.
Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, menurut Juru Bicara LAKRL itu, seharusnya dibatalkan. Sebab, di pasal 1 ayat 1 disebut: Hasil Sedimentasi di Laut adalah sedimen di laut berupa material alami yang terbentuk oleh proses pelapukan dan erosi, yang terdistribusi oleh dinamika oseanografi dan terendapkan yang dapat diambil untuk mencegah terjadinya gangguan ekosistem dan pelayaran; ayat 7 berbunyi: Izin Pemanfaatan Pasir Laut adalah izin yang diterbitkan oleh Menteri untuk melakukan kegiatan pembersihan dan pemanfaatan Hasil Sedimentasi di Laut.
Kemudian pada penjelasan PP itu disebut pengelolaan hasil sedimentasi di laut dilakukan agar tidak menurunkan daya dukung ekosistem pesisir dan laut serta dampak negatif seperti: a. menurunnya kualitas lingkungan perairan laut dan pesisir pantai; b. menurunnya kualitas air laut akibat meningkatnya kekeruhan air yang berdampak signifikan terhadap penetrasi sinar matahari yang berfungsi untuk proses kehidupan biota air; c. rusaknya daerah pemijahan ikan, pengasuhan ikan, dan tempat makan ikan; d. timbulnya turbulensi yang menyebabkan peningkatan kadar padatan tersuspensi di dasar perairan laut; dan e. terjadi pendangkalan yang menyebabkan banjir.
Pada pasal 9 PP 26 tahun 2023 itu dijelaskan tentang pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha. Namun selanjutnya pada hurud d disebut ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. ”Ini sangat mengerikan, karena perusahaan yang mendapat izin ekspor pasir laut merupakan perusahaan dari Jakarta, yang tidak memahami kondisi nelayan, dan jelas, tidak peduli dengan lingkungan tempat kami dan keturunan kami hidup,” kata Ade Facrizal, salah satu pengurus LAKRL.
”Sehingga kami dari masyarakat adat bersama Suku Laut serta nelayan yang bergabung bersama kami, melakukan penolakan keras terhadap pengerukan dan ekspor pasir laut asal Kepulauan Riau. Tolong Menko Maritim jangan menjejakkan catatan hitam di negeri kami dengan merusak harta kami. Sebab harta kami ada di laut yang jernih dan sehat,” pungkas Ade Facrizal. (*)