* PT MEG Mengaku Hanya Butuh 6.560 hektar
Batam, Owntalk.co.id – Warga di 16 desa Pulau Rempang, Galang, dan Galang Baru, meminta pemerintah meninjau ulang luas tanah yang akan diserahkan ke PT Makmur Elok Graha (PT MEG). Sementara pihak PT MEG mengaku pihaknya hanya membutuhkan 6.560 hektar untuk pembangunan pusat perdagangan dan pariwisata.
”Tindak lanjut kerjasama Pemerintah Daerah, BP (Badan Pengusahaan) Batam dengan PT MEG agar ditinjau ulang luasannya karena mencakup satu pulau yang di dalamnya terdapat hutan lindung, kantor pemerintahan dan perkampungan penduduk yang sudah bermukim ribuan tahun,” kata juru bicara Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) di hadapan sekitar 700-an warga 16 kampung yang hadir dalam acara Halal Bi Halal Keramat, di lapangan Pantai Melayu, Kamis, 11/5/2023.
Pernyataan itu ditegaskan oleh Ketua Keramat, Gerisman Achmad, di sela acara yang dihadiri oleh warga dan perwakilan PT MEG, Anggota DPRD Batam Rahmad, Huzrin Hood, dan tokoh masyarakat Melayu di sekitar Batam itu. ”Kami menolak rencana pengembangan Pulau Rempang, Galang dan pulau sekitarnya apabila harus mengorbankan nilai sosial, artinya, kami tidak bersedia direlokasi. Jika ada satu titik dari enam belas titik kampung yang akan direlokasi paksa, kami akan memasang pagar betis,” kata Ketua Masyarakat Adat Tempatan (Keramat), Gerisman Ahmad.
Sebanyak 16 kampung akan menjadi korban relokasi jika PT MEG harus mengembangkan 17.000 hektar di pulau-pulau itu. Kampung itu antara lain: 01. Tanjung Kertang; 02. Tanjung Kelengking; 03. Rempang Cate; 04. Kelongkeng; 05. Pantai Melayu; 06. Monggak; 07. Pasir Panjang; 08. Sembulang; 09. Sungai Raya; 10. Dapur Enam; 11. Tanjung Banut; 12. Cijantung; 13. Dapur Tiga; 14. Air Lingka; 15. Galang Baru; dan 16. Pengapit.
Warga, kata Gerisman Achmad, mendukung program pembangunan pemerintah, termasuk meningkatkan pendidikan dan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk kesejahteraan masyarakat, membuka lapangan kerja baru. Tetapi, katanya, warga setempat jangan dibuat menjadi kuli sampai akhir hidupnya. ”Sayangnya, hingga sekarang belum dijelaskan pemerintah (Pemko Batam dan BP Batam) apa yang akan dibangun dan di mana posisinya. (Jika harus merelokasi pemukiman), kami tetap melawan itu, karena pemerintah bertanggungjawab dalam hal mengeluarkan perizinan,” tegas Gerisman Achmad.
Saya dapat bocoran dari Jakarta, dan jika itu dilaksanakan, kami akan melawan. Sebenarnya kami berhak meminta, tetapi sampai sekarang belum diberikan. Lihat saja, pada acara yang penting ini, kami mengundang pemerintah yang memberi izin tidak datang. Saya sangat kecewa. Mereka ‘gak berani datang. (Seharusnya) Datang ke saya. Saya bertanggungjawab (menjaga masyarakat).
Gerisman Ahmad, Ketua Masyarakat Adat Tempatan (Keramat).
Ketika ditanya apakah BP Batam telah melakukan sosialisasi site plan pembangunan yang akan dilakukan PT MEG, menurut Gerisman, belum ada sama sekali. ”Saya dapat bocoran dari Jakarta, dan jika itu dilaksanakan, kami akan melawan. Sebenarnya kami berhak meminta, tetapi sampai sekarang belum diberikan. Lihat saja, pada acara yang penting ini, kami mengundang pemerintah yang memberi izin tidak datang. Saya sangat kecewa. Mereka ‘gak berani datang. (Seharusnya) Datang ke saya. Saya bertanggungjawab (menjaga masyarakat),” jelas Gerisman.
Hanya Membutuhkan 6.560 Hektar
Luas tanah yang akan diberikan oleh BP Batam, yakni 17.000 hektar. Total 16 kampung yang berada di wilayah itu hanya 1.000 hektar, paling banyak 1.500 hektar, yakni hanya 5 persen dari total luas tanah yang akan diberikan kepada PT MEG. Perusahaan milik Tommy Winata itu akan berinvestasi sekitar mencapai Rp381 triliun hingga 2080.
Menanggapi luas tanah yang dibutuhkan, Direktur PT MEG, Trijono, menyebut pihaknya sebenarnya hanya membutuhkan tanah seluas 6.560 hektar. Tetapi yang menjadi masalah adalah lahan di Pulau Rempang, Galang dan Galang Baru masih berstatus hutan Kawasan Suaka Alam atau Taman Buru, Hutan Lindung, dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi. Sementara rata-rata Area Penggunaan Lain (APL) telah dihuni oleh warga tempatan yang telah tinggal di kawasan itu sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu.
Ketika ditanya apakah PT MEG bersedia melakukan perubahan Site Plan, menurut Trijono, jika hal itu terjadi, akan terus dimusyawarahkan. ”Apapun itu yang akan dibangun di sini, di Rempang ini, tentu harus sesuai dengan Tata Ruang. Nanti jika ada yang tidak sesuai akan dibicarakan dengan warga. Itu yang terus kita diskusikan setiap hari dengan masyarakat,” ucap Trijono.
”Jika kita berbicara perubahan site plan, kalau ngomong sekarang dianggap melawan (pemerintah) pula. Tetapi kami akan terus berkomunikasi dengan warga, jika ada yang tidak sesuai (antara site plan perusahaan dengan keinginan warga), akan dirembuk secara bersama-sama,” ujar Trijono. Dia mengaku tidak bisa (membeberkan site plan, karena akan dinilai mendahului pemeritah atau BP Batam.
Sebelumnya, BP Batam dan PT MEG telah melakukan perjanjian untuk mengembangkan kawasan Rempang seluas 17.000 hektare pada 2004. Launching Program Pengembangan Kawasan Rempang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam pun sudah dilakukan pada 12 April 2023 lalu.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, persoalan dokumen terkait pengembangan kawasan Rempang yang telah berjalan selama 18 tahun akhirnya mengalami progres. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menetapkan SK terkait perubahan kawasan hutan sekitar 7.560 hektare. Kementerian ATR juga telah menetapkan SK HPL secara bertahap.
”Berdasarkan laporan Walikota sekaligus Kepala BP Batam, bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan SK terkait perubahan kawasan 7.560 hektare, kemudian Menteri ATR telah menetapkan SK HPL secara bertahap. Kemudian BP Batam juga menetapkan development plan atau estate regulation, juga besaran tarif lahan dan tentu MEG menyiapkan pelaksanaan investasi dengan Rempang,” katanya. (*)