Batam, Owntalk.co.id – Aksi mafia tanah kembali terungkap menyusul gugatan pengusaha properti pada Badan Pengusahaan (BP) Batam karena tidak dapat mempertanggung-jawabkan tanah yang disewakannya ke pengusaha properti di kawasan Nongsa, Kota Batam. Dalam gugatannya, pengusaha menuntut BP Batam membayar ganti rugi Rp154 miliar.
”Pada tahun 2015 lalu, kami mengajukan permohonan ke BP Batam untuk mengelola 2,9 hektar tanah di tempat ini (Nongsa). Selanjutnya, kami telah membayar uang muka dan melunasi UWTO (Uang Wajib Tahunan Otorita/istilah sewa tanah di Batam) 30 tahun, juga surat ukur dan jaminan pelaksanaan pembangunan. Tetapi sampai sekarang kami tidak mendapatkan PL (Penetapan Lokasi), SPJ (Surat Perjanjian) dan SKEP (Surat Keputusan) sebagai dasar membangun di atas tanah. Kami diperdaya oleh BP Batam,” kata Anry, seorang pengusaha properti di Batam, kepada Owntalk.co.id, Sabtu, 18/2/2023.
Pernyataan Anry disampaikan usai mengikuti sidang lapangan di kawasan Nongsa, Batam, pada Jumat, 17/2/2023, yang dilaksanakan Pengadilan Negeri (PN) Batam, yang dihadiri penggugat Anry sebagai Direktur PT Batam Karya Perkasa (BKP) dan Penasihat Hukum (PH) BP Batam, Putra Manalu. Dalam sidang lapangan itu, terlihat bahwa tanah seluas 2,9 hektar yang dialokasikan BP Batam kepada perusahaan itu telah dibangun puluhan rumah permanen, sekolah dari satu Yayasan Pendidikan, serta rumah ibadah.
Dari sidang lapangan di wilayah Jl Hang Jebat, ke arah pantai Nongsa, Kota Batam, terlihat lahan yang telah dialokasikan oleh BP Batam ke PT BKP telah dikuasai oleh penduduk. ”Tanah ini, ketika dialokasikan ke kami oleh BP Batam, masih kosong. Kami telah membayar biaya ukur, dan semua kewajiban pembayaran. Tetapi, BP Batam tidak mengeluarkan legalitas untuk mengelola tanah ini, sehingga kami tidak dapat membangun, dan sekarang sudah 7 tahun, malah dikuasai oleh bangunan yang tentu statusnya masih liar, karena alokasi tanah ini diberikan kepada kami,” kata Anry.
Kuasa Hukum PT BKP, Tantimin, SH, MH, mengatakan seharusnya BP Batam tidak menunda penerbitan PL, SPJ dan SKEP, karena telah menerima pembayaran UWTO lunas dan telah diukur oleh pejabat bagian pengukuran tanah. Sehingga, katanya, tidak ada kesempatan buat pihak ketiga memanfaatkan tanah yang sempat kosong. Dia tidak menepis kecurigaan berbagai pihak, bahwa ada praktik mafia tanah di tubuh BP Batam yang sengaja memperlambat penerbitan legalitas tanah kepada pemohon yang telah membayar kewajiban.
Tanah ini, ketika dialokasikan ke kami oleh BP Batam, masih kosong. Kami telah membayar biaya ukur, dan semua kewajiban pembayaran. Tetapi, BP Batam tidak mengeluarkan legalitas untuk mengelola tanah ini, sehingga kami tidak dapat membangun, dan sekarang sudah 7 tahun, malah dikuasai oleh bangunan yang tentu statusnya masih liar, karena alokasi tanah ini diberikan kepada kami. Anry sebagai Direktur PT Batam Karya Perkasa
”Kalau menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri, harusnya ini di-HPL-kan dulu baru dialokasikan kepada penyewa atau pengelola. Ini tidak ada HPL, langsung dia kasih kepada penyewa, lalu sekarang bermasalah. Bermasalah, suruh tunggu sampai waktu yang tidak ditentukan. Kan, kasihan orang yang sudah membayar lahan. Hampir Rp1 miliar sudah dibayar. Sudah ada site plan pembangunan, mulai dari gambar dan semua persiapan pembangunan sudah ada, tetapi karena tidak ada suratnya, nggak bisa dibangun. Kerugian menjadi sangat besar, sehingga kami ajukan gugatan,” kata Tantimin.
Anehnya, saat PH BP Batam ditanya oleh Hakim Anggota PN Batam di sidang lapangan yang dilaksanakan itu, pihaknya mengaku tidak memiliki informasi tentang peruntukan lahan, serta luas lahan yang digugat. Terlihat petugas dari BP Batam sebagai tergugat sama sekali tidak menguasai masalah lahan di kawasan itu. ”Dari pengalokasian lahan belum ada informasi. Kita tidak tahu pengalokasian lahan ini untuk apa, dan bagaimana persoalan yang terjadi. Kami hanya datang mengikuti sidang lapangan,” kata Putra Manalu sebagai PH BP Batam.
Menurut Anry, biaya yang telah dikeluarkannya telah melebihi Rp1 miliar, karena harus mengeluarkan biaya jasa atau komisi yang disebut sebagai ‘fee’ dalam setiap pengurusan tanah di BP Batam. Anehnya, kata Anry, setelah penerima alokasi tanah membayar, BP Batam terlihat sengaja tidak menerbitkan surat PL, SPJ, dan SKEP, sehingga penerima alokasi tidak dapat menguasai lahan. ”Faktanya, ada pihak yang menguasai lahan, sebuah organisasi, yang menurut saya sengaja dibiarkan menguasai lahan yang telah diberikan kepada penyewa yang telah membayar,” tutur Anry.
Karena itu, PT BKP menggugat BP Batam menerbitkan gambar PL, Surat Perjanjian (SPJ) dan Surat Keputusan (SKEP) serta Hak Pengelolaan Lahan atas nama PT BKP, dan menyerahkan fisik tanah 29.803 m2 di Wilayah Pengembangan Pantai Timur Sub Wilayah Nongsa, Kota Batam, kepada PT BKP sebagai penggugat. BP Batam digugat membayar kerugian materi sebesar Rp54,4 miliar, dan kerugian inmaterial sebesar Rp100 miliar.
Penggugat juga meminta PN Batam menghukum BP Batam agar membayar secara tunai dan seketika kepada PT BKP sebagai penggugat kerugian materil sejumlah Rp64,4 miliar dan membayar uang paksa (dwangsom) secara tunai dan seketika sebesar Rp10.000.000 setiap hari keterlambatan sampai mempunyai kekuatan hukum tetap. (*)