Jakarta, Owtalk.co.id – Direktur Jendral Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI & Jamsos) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Indah Anggoro Putri. Mengungkapkan latar belakang diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perppu Cipta Kerja.
Diterbitkannya Perppu Cipta Kerja dilatarbelakanginya oleh beberapa hal atau kondisi, yang jelas adalah bagaimana respon terhadap dinamika global yang terjadi saat ini dan yang akan datang.
Adapun latar belakang lainnya, yaitu dalam rangka melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020, di mana putusan tersebut perlu dilakukan perbaikan melalui pengganti UU.
“Kemnaker saat ini tengah memproses revisi dari Peraturan Pemerintah (PP) yang akan mengatur aturan teknis dari Perppu Cipta Kerja itu,” kata Indah, Jumat (6/1/2023).
Beberapa langkah yang akan dilakukan untuk melakukan revisi tersebut, dimulai dari internal Kemnaker membahas perubahan substansi dari PP yang terdampak.
Kemudian, hasil pembahasan revisi akan dibawa ke LKS Tripartit Nasional yang terdiri dari perwakilan pemerintah, pekerja dan pengusaha agar mendapatkan masukan serta saran.
Selain revisi PP, ada dua urgensi diterbitkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, pertama Indonesia masih membutuhkan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas.
Pada waktu pandemi Covid-19, memberikan dampak kepada 11,53 juta orang (5,53 persen) penduduk usia kerja, yaitu penggaguran sebanyak 0,96 juta orang, bukan angkatan kerja sebanyak 0,55 juta orang, tidak bekerja sebanyak 0,58 juta orang dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja sebanyak 9,44 juta orang.
“Sehingga, dibutuhkan kenaikan upah yang pertumbuhannya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produktivitas pekerja,” ungkap Indah.
Adapu urgensi kedua, yaitu perlu penguatan fundamental ekonomi nasional untuk mejaga daya saing. Karena saat ini terjadi pelemahan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan laju harga (fenomena staglafi). Di sisi lain, kondisi perekonomian dunia diproyeksikan akan memburuk di 2023.
Selain itu, masih terdapat permasalahan mata rantai pasokan yang berdampak pada keterbatasan suplai. Terutama pada keterbatasan barang-barang pokok, seperti makanan dan energi serta kenaikan inflasi di beberapa negara maju, seperti Amerika dan Inggris.
“Tingkat ketidakpastiaan yang tinggi pada dunia, terutama didorong oleh kondisi geopolitik. Hal itu akan mendorong resiko pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih lemah dan inflasi yang lebih tinggi,” katanya.