- Terancamnya Kebebasan Pers di Natuna (Bagian 2)
Natuna, Owntalk.co.id – Dalam satu persidangan yang digelar pada dua pekan lalu, Bupati Natuna, Wan Siswandi, saat ditanyakan hakim mengenai upaya mediasi antara pelapor dan terlapor Sudirmanto, Bupati Natuna menyebut bahwa dirinya bersedia dimediasi, tetapi terlapor tidak bersedia hadir. Tetapi dalam persidangan lanjutan kasus , terungkap bahwa Wan Siswandi berbohong.
Saksi dari penyidik Kepolisian Daerah (Polda) Kepri, saat ditanyakan hakim menyebut pihaknya telah berupaya memediasi Wan Siswandi sebagai pelapor dengan Sudirmanto sebagai terlapor. Tetapi, menurut saksi penyidik Polda Kepri, Wan Siswandi tidak bersedia dimediasi. Fakta itu membuktikan Wan Siswandi telah memberikan keterangan palsu atau berbohong (menyebar hoax) di depan majelis hakim yang dapat diancam dengan pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 242 Ayat 1, menyebutkan setiap orang yang dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Ayat 2 menyebut jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Kekuasaan tidak seharusnya digunakan untuk membungkam setiap suara yang ingin mengungkap kebenaran. Tetapi kekuasaan harusnya dikelola untuk mencapai keadilan bagi segenap rakyat yang berada di bawah kekuasaannya. Penulis.
Langkah yang ditempuh Wan Siswandi dalam menyikapi tuduhan korupsi yang diungkap media online Cyber88.co.id pada 18 Oktober 2021, dan berita itu diposting oleh Sudirmanto di media sosial facebook dalam kelompok (group) tertutup (privat), tergolong berlebihan. Harusnya Bupati Wan Siswandi terbuka untuk dikritik bahkan dilaporkan sekalipun. Sepanjang ada bukti-bukti, kasus dugaan korupsi bukan perkara aib untuk dilaporkan atau bahkan dipublikasi.
Justru Bupati Wan Siswandi yang harus membuktikan bahwa dirinya, ketika menjabat sebagai Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Natuna, pada 2013, benar-benar menjalankan tugas dengan baik, dan bersih dari tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme. Dilaporkannya kasus itu, seharusnya menjadi ajang pembuktian bagi Wan Siswandi, bahwa dirinya telah bertindak benar.
Tetapi sikap yang ditunjukkan Wan Siswandi, memenjarakan orang yang menguji perbuatannya dalam mengelola uang rakyat, malah menujukkan betapa bobroknya pengelolaan uang rakyat di Kabupaten Natuna. Memenjarakan pelapor dugaan korupsi yang merilis laporannya di media jurnalis resmi, merupakan tindakan pembungkaman terhadap jurnalisme serta menimbulkan intimidasi terhadap suara rakyat.
Apalagi media yang mempublikasi berita itu telah membuat pernyataan agar produk jurnalisme tidak dibawa ke ranah hukum secara sembarangan. Lihat saja surat dari wartawan Cyber88.co.id, Dungo Simanungkalit, yang disampaikan pada 28 November 2022 lalu, sebagai berikut:
Surat pernyataan, saya Dungo Simanungkalit, wartawan Cyber88.co.id, dengan ini menyatakan sebagai berikut:
- Bahwa berita yang saya muat di www.ciber88.co.id, dengan judul: ”Bupati Natuna Wan Siswandi Dilaporkan ke Kejati Kepri.” Dengan anak judul: ”Terkait Dugaan Terlibat Penyelewengan Keuangan Daerah Tahun 2013 Saat Menjabat Sebagai Kadis Perhubungan Natuna,” yang dipublikasi oleh redaksi media Ciber88 pada hari Senin, tanggal 18 Oktober 2021, pukul 23:26 WIB, adalah merupakan hasil hunting (pencarian/pengejaran) berita yang saya lakukan untuk melengkapi informasi yang saya dapatkan.
- Bahwa berita follow up (lanjutan) yang saya muat di www.ciber88.co.id, yang berjudul: ”Bupati Natuna Dilaporkan, Kajati Kepri: Akan kami pelajari,” yang dipublikasi oleh redaksi media Ciber88 pada hari Rabu, tanggal 20 Oktober 2021, pukul 19.39 WIB, juga merupakan hasil hunting (pencarian/pengejaran) berita yang saya lakukan untuk melengkapi informasi yang saya dapatkan.
- Berita sebagaimana dijelaskan dalam butir 1 dan 2 adalah produk jurnalis yang tunduk pada Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, serta Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJI). Dalam UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers pada Pasal 3 ayat (1) yang menyebut: ”Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.” Serta Kode Etik Jurnalistik pada Pasal 11 yang menyebut: ”Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.” Dalam KEJI tersebut dijelaskan penafsirannya: (a) Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. (b) Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. (c) Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki. Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
- Bahwa bila ada pihak yang keberatan atau dirugikan atas terbitnya berita tersebut, dapat menyampaikan HAK JAWAB sesuai dengan ketentuan dalam UU nomor 40 tahun 1999 serta Kode Etik Jurnalistik (KEJI) yang diterbitkan oleh Dewan Pers sebagai keputusan PERATURAN DEWAN PERS Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008.
- Bahwa proses hukum yang mendasarkan bukti-bukti atas penerbitan berita tersebut di atas harus tunduk pada Undang-Undang dan Peraturan turunannya, yakni UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, serta peraturan pelaksanaannya yang tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik yang dijelaskan pada butir 4 di atas.
Dengan surat itu, sebaiknya aparat hukum, baik penyidik, penuntut umum, maupun hakim di pengadilan, telah memiliki dasar yang kuat untuk menghentikan persidangan ‘dagelan’ itu di Natuna. Pejabat harus semakin dewasa dalam menghadapi publik, kedewasaan itu diterapkan dalam pengelolaan uang rakyat dan mengelola komunikasi dengan semua pihak.
Kekuasaan tidak seharusnya digunakan untuk membungkam setiap suara yang ingin mengungkap kebenaran. Tetapi kekuasaan harusnya dikelola untuk mencapai keadilan bagi segenap rakyat yang berada di bawah kekuasaannya. (*)