- Kasus Sudirmanto vs Bupati Natuna Wan Siswandi
Natuna, Owntalk.co.id – Sudirmanto, seorang pegiat media sosial, tertunduk lesu, di dalam persidangan yang mengancam kemerdekaannya sebagai pegiat media sosial dan pegiat anti korupsi. Sudah lima kali persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Natuna dilaksanakan yang bermula dari postingan sebuah berita di media sosial terbatas (private) Suara Mapena, pada Oktober 2021 silam.
”Sudah lima kali persidangan saya jalani. Sampai sekarang saya tidak faham, apa kesalahan yang saya lakukan, sebab postingan yang saya buat di Suara Mapena pada Oktober 2021 adalah sebuah berita, bukan pendapat saya pribadi. Setahu saya, tidak ada undang-undang yang melarang penyebaran berita, sebab berita yang diterbitkan tentu sudah melalui aturan-aturan yang memayungi produk jurnalistik,” kata Sudirmanto, kepada Owntalk.co.id, Rabu, 21/12/2022.
Keluhan Sudirmanto disampaikan, menyusul upayanya dalam penegakan hukum di bidang korupsi. Dia memiliki sekumpulan data yang menjelaskan yang menjelaskan Wan Siswandi saat menjabat sebagai Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Natuna, pada 2013, terindikasi korupsi senilai Rp7,1 miliar lebih. Dana itu raib dalam kegiatan jasa angkutan laut pada Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Natuna, dan indikasinya dilaporkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
Wajar saja, Sudirmanto sebagai pegiat sosial yang berniat memajukan kampung halamannya melaporkan masalah itu ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kepri. Laporan dugaan korupsi yang disampaikan Sudirmanto pada Senin, (18/10/2021) itu menarik perhatian publik. Hingga wartawan Cyber88.co.id, mewawancarai Sudirmanto. ”Itulah latar-belakang munculnya berita di Cyber88.co.id pada 18 Oktober 2021. Yang saya tahu, sebelum berita itu dipublikasi, wartawan Cyber88.co.id telah mengonfirmasi perihal dugaan korupsi itu kepada Bupati Natuna,” tuturnya.
Seharusnya polisi tidak menerima laporan pencemaran nama baik yang didasarkan pada penyebaran berita. Sebab berita di media online adalah produk jurnalistik yang patuh pada undang-undang khusus. Bupati dan Kepolisian, bukan tidak mengerti tentang ”Lex specialis derogat lex generalis,” yakni aturan yang bersifat khusus (specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (generalis). Undang-Undang RI nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang menjadi dasar kemerdekaan pers, telah memberi ruang bagi siapa saja yang merasa dirugikan akibat pemberitaan. Penulis.
Dampak dari publikasi kasus korupsi yang diduga melibatkan dirinya, Wan Siswandi melaporkan Sudirmanto sebagai pelaku pencemaran nama baik dengan menggunakan Undang-Undang nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Infomrasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dasarnya, adalah postingan Sudirmanto di kelompok (Group) Facebook bersifat Private dengan nama kelompok Suara Mapena. Meski anggota group itu mencapai 28.496 anggota, namun kelompok media sosial itu merupakan kelompok tertutup dengan sifat privat yang berarti pribadi, tersendiri, atau partikelir. Sebuah kewajaran, karena yang diposting Sudirmanto adalah berita yang tentu saja telah melalui proses jurnalistik, yakni akurat, berimbang, dan tidak melanggar pasal 3 Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJI) yang menjelaskan: Pasal 3 Wartawan Indonesia tidak menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang menyesatkan, memutarbalikkan fakta, bersifat fitnah, cabul, sadis dan sensasi berlebihan.
Sebelumnya, beredar informasi Wan Siswandi telah mengembalikan uang temuan BPK RI sebanyak Rp1 miliar, yang berarti bupati itu masih harus membayar Rp6,1 miliar lagi ke negara. Namun hal tersebut seharusnya bukan menjadi dasar dihentikannya proses penegakan hukum kepada Bupati Natuna. Sebab UU nomor 1 tahun 2004 pasal 64 ayat (1) sudah menjelaskan pelaku yang terindikasi korupsi tetap harus diseret ke proses hukum. Apakah Wan Siswandi dikenakan hukum korupsi? Boro boro ditangkap karena korupsi, polisi malah buru-buru menersangkakan Sudirmanto sebagai pelaku tindak pidana undang-undang ITE yang sanksi hukumnya 9 tahun.
Seharusnya polisi tidak menerima laporan pencemaran nama baik yang didasarkan pada penyebaran berita. Sebab berita di media online adalah produk jurnalistik yang patuh pada undang-undang khusus. Bupati dan Kepolisian, bukan tidak mengerti tentang ”Lex specialis derogat lex generalis,” yakni aturan yang bersifat khusus (specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (generalis). Undang-Undang RI nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang menjadi dasar kemerdekaan pers, telah memberi ruang bagi siapa saja yang merasa dirugikan akibat pemberitaan.
”Dia (Wan Siswandi) tidak pernah melayangkan surat bantahan atau memberikan hak jawab, jika merasa bahwa berita yang kami naikkan di Cyber88.co.id tidak benar, atau merugikan dirinya,” kata Dungo Simanungkalit, wartawan Cyber88.co.id, yang melakukan reporting terhadap berita yang dipersoalkan Wan Siswandi.
Tetapi, apa yang dilakukan oleh pihak kepolisian di Natuna? Mereka sangat terburu-buru menaikkan laporan Sang Bupati dari penyelidikan ke penyidikan. Sebab dilaporkan pada 4 Januari 2022, dan pada 13 Januari 2022 langsung ditingkatkan ke penyidikan dengan menaikkan status Sudirmanto sebagai tersangka pelanggaran UU ITE. Sebuah langkah terburu-buru yang lebih berpihak pada kekuasaan daripada menjaga hubungan antar warga negara sebagai negara hukum. Kepolisian di Natuna tampaknya lebih memilih kekuasaan daripada rasa keadilan. (Bersambung)