Jakarta, Owntalk.co.id – Tuntutan dunia yang berkelanjutan dan rendah emisi telah melahirkan sejumlah inovasi untuk mencapai tujuan itu. Tuntutan itu juga mencakup penyediaan dan pembangunan barang milik negara (BMN), termasuk infrastruktur berbasiskan energi baru terbarukan (EBT).
Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut menandatangani Perjanjian Paris, yakni perjanjian yang melibatkan 195 negara yang berkomitmen menurunkan emisi karbon untuk mencegah perubahan iklim. Dalam konteks itulah, Indonesia telah menetapkan pengurangan emisi karbon sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030. Selanjutnya, target nol emisi pada 2060.
Nah untuk menuju tujuan itu, Kementerian Keuangan pernah menghitung Indonesia membutuhkan dana USD266 miliar hingga 2030 untuk mengurangi emisi karbon. Jumlah tersebut meningkat dari kajian sebelumnya, sekitar USD247,3 miliar, untuk mengurangi 1,08 miliar ton karbon.
Namun seperti diakui Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam satu kesempatan, kebutuhan dana sebesar itu tentu tidak bisa ditutup oleh pemerintah saja melalui alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebab, pemerintah hanya bisa memberikan alokasi dana sekitar 4,1 persen dari total APBN untuk penanganan perubahan iklim.
Oleh karena itu, isu soal penanganan perubahan iklim juga menjadi salah satu pokok bahasan dalam rangka Presidensi G20 di Bali. Meskipun dari alokasi dana untuk penanganan perubahan iklim masih belum memadai, pemerintah tetap menjalankan sejumlah program menuju transisi energi dari energi yang berbasis tidak terbarukan (non-renewable), terutama batu bara, kepada terbarukan (renewable).
Salah satu langkah konkretnya adalah penyediaan dan pembangunan BMN infrastruktur EBT. Menurut siaran pers Kementerian Keuangan, Jumat (22/7/2022), pemerintah—Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM–melalui kebijakan APBN berkomitmen untuk mencapai target bauran energi baru terbarukan yang sudah ditetapkan sebesar 23 persen pada 2025. Kebijakan berbasis bauran energi baru terbarukan telah dilakukan sejak 2011.
Selain itu, program pembangunan infrastruktur EBT juga ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang belum tersambung dengan jaringan tenaga listrik di kawasan perbatasan tertinggal, daerah terisolir, dan pulau-pulau terluar. Dalam kurun waktu enam tahun (2016–2021), pemerintah telah mendistribusikan BMN Infrastruktur kepada pihak-pihak yang membutuhkan melalui skema alih status penggunaan, hibah, dan/atau penyertaan modal pemerintah pusat.
Skema pengelolaan BMN ini sesuai Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 2014 sebagaimana diubah dengan PP nomor 28 tahun 2020. Adapun penerima manfaat dari BMN Infrastruktur EBT antara lain:
- PLTS Terpusat telah diberikan kepada 21 pemerintah provinsi (pemrov) dan 31 pemerintah kabupaten/kota (pemkab/kota).
- PLTS Rooftop telah diberikan kepada 33 pemrov, 25 pemkab/kota, 18 pondok pesantren, 6 satuan kerja KESDM, dan 8 kementerian/lembaga (K/L).
- LTSHE telah diberikan kepada 364.315 rumah tangga.
- PJU Tenaga Surya telah diberikan kepada 33 pemrov dan 217 pemkab/kota.
- PLTMH telah diberikan kepada 12 pemkab/kota.
- PLT POME (Palm Oil Mill Effluent) telah diberikan kepada 4 pemkab/kota.
- Biogas Komunal telah diberikan kepada 8 pemkab/kota dan 6 pondok pesantren.
Selama 2022, pemerintah menargetkan akan membangun sebanyak 33.476 unit BMN Infrastruktur dengan anggaran sebesar Rp483 miliar. Selain tujuh jenis BMN Infratruktur EBT di atas, pemerintah juga sedang melaksanakan program pemasangan paket Alat Penyalur Daya Listrik (APDAL) bagi masyarakat yang berada di wilayah desa yang belum terjangkau jaringan listrik.
Hal ini merupakan amanat presiden untuk memfasilitasi listrik kepada 433 desa yang tersebar di empat provinsi, yakni Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Maluku, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Harapannya, penyediaan dan pembangunan barang milik negara atau BMN Infrastruktur EBT bisa lebih masif pembangunannya sehingga target netral karbon menuju 2060 bisa lebih cepat dicapai.