Opini  

Hiperrealitas Ramadhan

Ramadhan hadir dalam bentangan umat Islam sebagai bulan penuh berkah & magfirah. Sebulan penuh dalam setahun sekali umat Islam menjalankan puasa dalam nuansa yang khusuk & hening atas ruwat batin. Sebagaimana tertera dalam surat Al-Baqarah ayat 183-187 Bahwa perintah untuk berpuasa bagi orang Islam adalah wajib. Konsep ibadah ini menitik beratkan pada raga & jiwa untuk menahan setiap hawa nafsu dari raga seseorang sampai pada jiwa yang terdalam.

Disaat yang sama, proses penggalian nilai-nilai ibadah mengalami simulacrum spiritualitas oleh gempita komodifikasi realitas Ramadhan. Seolah-olah semuanya serba Islami & menawarkan rahma, berkah, & magfirah melalui citra-citra yang dikonstruk oleh media yang anehnya diamini secara masif oleh banyak kalangan.

Apa yang terjadi selama Ramadhan adalah fenomena unik yang patut kita apresiasi minimal selama bulan Ramadhan ini kita menuntun diri untuk memacu jiwa agar menjadi insan yang bertakwa. Namun kiranya perlu digaris bawahi bahwa fenomena yang kita saksikan selama Ramadhan ini adalah sebuah fenomena yang berwajah ganda. Disatu sisi ia menyuguhkan relegiusitas namun disisi lain ada permainan simbol yang memberikan pemaknaan kedua yang oleh Baurdrillard, filsuf asal Prancis menyebutnya dengan istilah Hiperrealitas.

Hiperrealitas adalah sebuah konsep dimana realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi & permainan tanda-tanda yang melampaui realitas aslinya. Hiperrealitas menciptakan suatu kondisi dimana kepalsuan bersatu dengan keaslian, masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Hiperrealitas menghadirkan model-model kenyataan sebagai sebuah simulasi bagi penikmatnya (Simulacrum). Simulasi hadir bukan untuk melukiskan realitas yang diwakilkannya, tetapi mereka hadir hanya untuk mengacu pada dirinya sendiri melampaui realitas aslinya. Begitu pun Ramadhan, yang seharusnya dilewatkan dengan pemenuhan ibadah, kini tergantikan oleh kepentingan yang dihadirkan oleh simulacra itu sendiri.

Dulu, Ramadhan kerap kali diisi dengan peribadatan yang melibatkan spiritualitas person dalam kolektifitas zikir yang menisbahkan diri pada capaian akhirat. Hal ini berbanding terbalik dengan masyarakat modern saat ini, Ramadhan hanya dimaknai sebagai pertunjukan simbol-simbol spiritualitas. Mall-mall & karyawannya dipenuhi dengan identitas keagamaan semu, sementara pembelinya berlomba-lomba melakukan tawaf untuk mencari aksesoris yang serba Islami. Ramadhan telah menjadi simulasi hasrat relegiusitas masyarakat yang kering selama sebelas bulan lamanya. Masyarakat modern adalah masyarakat yang jauh dari curahan air spiritualitas.

Proses simulasi ini menggiring masyarakat modern merasa bahwa mereka memasuki sebuah ruang realitas yang dirasa nyata & lebih baik padahal citra & khayalan semu semata. Melalui simulasi Ramadhan ini, akhirnya masyarakat digiring pada spiritualitas yang menghamba pada modal. Seakan alim namun lalim pada ketakwaan spiritualitas. Akhirnya makna dari relegiusitas hanya diukur dengan tanda-tanda atau simbol-simbol yang merupakam hasil penciptaan realitas yang semu. Kita dianggap relegius ketika sudah berbaju koko.

Semakin menyeruaknya overproduksi simbol hang hadir melalui pencitraan media sedemikian rupa membuat masyafakat mengalami kesulitan dalam memahami relevansi antara bentuk & isi. Kebingungan mencerap antara yang sejati & semu.

Akhirnya bulan yang dipenuhi kasih sayang Tuhan, berkah yang melimpah, pahala yang dilipatgandakan serta bulan menuju ketakwaan menjadi bulan yang hanya dipersepsi melalui permainan simbol, akhirnya kita terjerumus pada hiperspiritualitas.

Semoga dipenghujung Ramadhan ini, betapapun realitas masyarakat modern sudah mengalami pergeseran sedemikian rupa, harus menjadi momentum kesadaran kritis bagi umat muslim dalam upaya menjaga semangat al-Imsak, & upaya kembali ketitik kesucian (fitrah) dalam arti yang sesungguhnya. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1442 H. Maaf Lahir Batin.

Exit mobile version