Opini  

Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Oleh : Abdul Salam Ahmad (Akademisi)

Tujuan Pendidikan Nasional terlihat jelas dalam UUD 1945 yakni Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Hal ini berarti bahwa tujuan pendidikan mengarah pada kecerdasan demi terwujudnya masyarakat adil makmur. Mengutip apa yang disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara bahwa tujuan pendidikan adalah membebaskan Siswa dari belenggu ketergantungan pada guru menuju kemerdekaan diri.

Pendidikan merupakan salah satu alat atau aset negara guna mengangkat derajat, martabat, & yang paling penting adalah mengangkat kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan bagi rakyat. Tan Malaka mengatakan pendidikan adalah aset penting bagi sebuah bangsa karena maju mundurnya sebuah negara bergantung pada pendidikan. Begitupun dengan Descartes, Bagimana keadaan pendidikan di suatu negara, begitulah keadaan negara.

Situasi objektif saat ini sungguh jauh dari harapan & cita-cita kemerdekaan mewujudkan rakyat yang terbebaskan dari penjajahan & terciptanya tatanan yang adil secara sosial, sejahtera secara ekonomi, demokratis secara politik & partisipatif secara budaya. Namun semuanya seolah hanya mimpi & ilusi belaka bagi rakyat Indonesia yang sampai saat ini terus dijajah oleh penguasa dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat seperti salah satunya mahalnya biaya pendidikan.

Tantangan pendidikan nasional yang dihadapi oleh bangsa dewasa ini adalah peningkatan pemerataan kesempatan pendidikan & relevansi pendidikan. Begitu pula tantangan di lingkungan pendidikan nonformal dimana permasalahan-permasalahan yang terjadi semakin komplek saja. Hal ini disebabkan Dunia pendidikan nonformal adalah dunia yang berhadapan langsung dengan masyarakat atau peserta didik yang bermasalah baik itu dari segi ekonomi (Kemiskinan), segi pendidikan (putus Sekolah), segi sosial (pengangguran), segi SDM (rendahnya ketrampilan yang dimiliki) dan masih banyak permasalahan lainnya. Dengan kata lain pendidikan nonformal menitik beratkan pada pemberdayaan masyarakat sampah atau masyarakat yang bermasalah secara kolektif.

Proses pendidikan pada hakikatnya adalah proses praktik pembebasan & penyadaran anak didik dibebaskan untuk memahami kontradiksi keadaan sosial, politik & ekonomi serta mengambil tindakan untuk melawan penindasan berdasarkan situasi objektif yang terjadi. Pendidikan penyadaran seharusnya diarahkan untuk memberikan kebebasan kepada anak didik untuk berdialog atau berdiskusi guna mengasa pola pikir anak didik sehingga melahirkan generasi atau intelektual yang peka atau sadar akan realita yang terjadi & mampu memahami realita serta memiliki satu pandangan yang bersifat pro rakyat yang oleh Paulo Freire disebut dengan sistem pendidikan dialogis. Tugas utama pendidikan adalah menjadikan anak didik sebagai subjek bukan menjadikan anak didik sebagai objek. Untuk mencapai tujuan anak sebagai objek adalah melati & meningkatkan kesadaran anak didik tentang realitas yang terjadi & mentransformasikan struktur sosial tentang penindasan terhadap rakyat.

Ada dua ciri orang tertindas yaitu pertama, orang yang tersingkirkan dari diri sendiri & lingkungan sehingga menjadi subjek otonon yang hanya mampu mengimitasi atau meniru orang lain. Kedua, merasa bodoh serta tidak mengetahui realita. Inilah suatu situasi pendidikan kontemporer yang terus berlangsung dari sabang sampai Marauke.

Histori pendidikan Indonesia dapat dimulai dari fase feodalisme. Pada fase ini lebih menekankan pada aspek psikomotorik atau kemampuan anak didik. Terdapat disparitas antara kaum ningrat & rakyat jelata tentang pendidikan. Kaum ningrat atau pihak kerajaan mendapatkan ilmu tentang kenegaraan selain ilmu tentang psikomotorik dengan tujuan untuk melanjutkan tahta kerajaan. Selanjutnya pada fase Kolonialisme (Belanda-Jepang). Pendidikan pada fase ini sangat jauh berbeda dengan fase sebulmnya karena tujuan dari pendidikan kolonialisme tidak mencerdaskan rakyat Indonesia akan tetapi berorientasi untuk mencetak atau menyiapkan tenaga pekerja pada perusahan Belanda begitupun dengan fasisme Jepang yang orientasinya hanya menciptakan tenaga-tenaga perang guna melawan pihak sekutu dalam perang Asia Timur atau Perang Pasific. Sistem pendidikan pada fase feodalisme sampai kolonialisme Belanda & fasisme Jepang ternyata tidak bersifat humanisme guna menciptakan kekritisan & kesadaran tentang realita sosial, ekonomi & politik akan tetapi lebih kepada mempertahankan kekuasaan.

Maka kiranya melalui momentum Hari Pendidikan Nasional pada hari ini penting kiranya sistem pendidikan nasional harus direvisi kembali & diberikan kebebasan suluas-luasnya kepada seluruh rakyat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan dengan tidak ada pengecualian & negara wajib membiayai itu. Dengan cara inilah hak untuk mendapatkan pendidikan terpenuhi sesuai amanat UUD 1945 pasal 31, dengan demikian tujuan pendidikan yang membaskan dapat terwujudkan. Terimakasih.

Exit mobile version