Batam, Owntalk.co.id – Sudah 26 tahun Nurita mengabdikan diri menjadi guru di pulau penyangga untuk memberikan asupan ilmu kepada anak-anak hinterland agar dapat mengeyam pendidikan yang layak.
Nurita adalah seorang guru perahu. Disebut guru perahu karena dari tempat tinggalnya menuju tempatnya mengajar harus berperahu. Ombak besar dan kecil, sudah biasa ia terjang. Mengajar dengan pakaian basah terciprat air laut, hampir selalu terjadi.
Bagi perempuan bernama lengkap Nurita Sinaga, menjadi guru di pulau Kubung punya tantangan tersendiri. Jumlah siswa yang sedikit, ditambah mahalnya transportasi jadi tantangannya.
Nurita Sinaga telah mengajar di pulau itu sejak tahun 1995. Pulau Kubung adalah pulau penyangga yang berada disekitaran pulau Batam. Untuk mencapai kesana, butuh perjuangan untuk mengarungi laut dengan waktu 20 sampai dengan 25 menit.
Bukan tanpa alasan Nurita sampai ke pulau itu, dia bersedia menjadi guru di SD Negeri 003 pulau Kubung, Kelurahan Ngenang, kecamatan Nongsa dengan bekal Surat Keputusan penempatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah sejak tahun 1995.
Hingga saat ini, wanita yang telah berusia 50 tahun itu telah menghabiskan setengah usianya mengajar disekolah itu. Uniknya lagi, dia telah mengajar 3 generasi di pulau tersebut.
Nurita mengisahkan suka duka yang dialaminya selama mengajar di daerah pulau. Selain jarak dan biaya, fasilitas pendidikan pun sangat minim disekolah-sekolah terluar itu.
“Suka dukanya memang terasa di awal bekerja. Transportasi dan biaya hidup sehari-hari yang mahal. Belum lagi di sekolah dengan fasilitas yang sangat minim,” papar dia pada Own Talk.
Wanita yang saat ini berdomisili di Punggur itu juga mengisahkan bagaimana harus menempuh laut yang bergelombang ketika akan berangkat dan sepulang dia mengajar.
“Apalagi lautan yang sewaktu-waktu cuacanya berubah-ubah,” ujarnya.
Cuaca ekstrem merupakan suatu kendala besar baginya yang memang tidak lahir dengan kondisi daerah kepulauan.
“Seiring berlalu waktu, semuanya itu sudah terbiasa,” ujarnya.
Menjadi guru di pulau terpencil, dengan berbagai kendala yang dialami ternyata tidak menyurutan tekad Nurita untuk memberikan yang terbaik bagi pendidikan anak-anak kepulauan.
“Bahagia mengajar anak-anak yang polos dan lugu, yang baru sedikit tersentuh modernisasi dan gaya hidup masa kini. Saya akbrab dengan mereka, tidak ada jarak yang memisahkan, layaknya orang tua dan anak. Punya masalah dibicarakan bersama sehingga dapat mencari solusi bersama. Dan itulah kami berada di sini,””paparnya.
Lingkungan kerja yang nyaman, jauh dari kebisingan dan polusi juga membuat dia semakin mencintai daerah pengabdiannya.
“Saya bahagia di sini dengan mereka yang sudah saya anggap keluarga sendiri. Saya merasa nyaman, bukan hanya di sekolah, tapi juga dalam hidup bermasyarakat. Penduduk yang ramah yang mau menerima bahkan suka berbagi dengan kami,” tutur Nurita. (Ack)