“Itu bukan Juru Bahasa Isyarat (JBI), tapi Juru Sistem Isyarat (JSI), dan ini merupakan pelanggaran. Siapa yang memilih JSI di acara tersebut?” ujarnya geram saat dihubungi melalui Whatsapp.
“Saya sudah sampaikan ke Ketua PPUA untuk menangani pelanggaran kode etik penjurubahasaan ini. Bagaimana bisa menjurubahasakan menggunakan SIBI, kemudian mengenakan masker saat bertugas, serta warna pakaian yang salah. Banyak sekali pelanggarannya.” Ujar Juniati lagi.
Ketua Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo), Laura Lesmana Wijaya, yang juga seorang Tuli, ikut bersuara mengenai pelanggaran kode etik penjurubahasaan isyarat ini. Ia menyatakan Juru Bahasa Isyarat harus menghargai budaya-budaya Tuli, termasuk di dalamnya adalah menggunakan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) dalam penjurubahasaan.
“Bisindo adalah bahasa ibu orang Tuli. Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) yang digunakan pada tayangan debat tersebut bukanlah sebuah bahasa, sehingga tidak dapat dipahami oleh komunitas Tuli. Jadi tidak sepatutnya dilakukan dalam menjurubahasakan informasi penting seperti ini.” Ujarnya saat dihubungi melalui pesan Whatsapp.
Qonitatul Atqia, Ketua Gerakan Kesejahteraan Tuli Indonesia (Gerkatin) Kepulauan Riau, ikut menyampaikan kekecewaannya. Saat ditemui di area Piayu, ia menyatakan bahwa Juru Bahasa Isyarat dalam Debat Publik Calon Walikota dan Wakil Walikota Batam kemarin malam tidak dapat dimengerti oleh komunitas Tuli Batam karena tidak memberikan akses penuh mengenai informasi debat, serta melanggar berbagai kode etik penjurubahasaan.
“Kesalahannya fatal, sama saja seperti tidak ada akses Juru Bahasa Isyarat,” protesnya. “Memberikan aksesibilitas Juru Bahasa isyarat bagi masyarakat Tuli adalah niat yang baik, tapi tetap perlu melakukan riset agar tidak terjadi kesalahan fatal seperti ini, yang dipertontonkan kepada masyarakat luas.” Ujar Nitha menambahkan.
Di tempat yang berbeda, Acendy Avelixvo, seorang Tuli yang tinggal di Bengkong, juga menyatakan hal senada.
“Juru Bahasa Isyaratnya tidak professional. Terlalu banyak diam dan tidak menyampaikan informasi sesuai dengan apa yang diucapkan oleh para paslon. Ia terlihat seperti sedang menghafal isyarat, sementara saya menunggu dia berisyarat – dan ternyata, tetap saja isyaratnya tidak jelas. Saya kecewa karena ketidakprofesionalannya yang membuat saya dan teman-teman Tuli Batam tidak mengenal para paslon walikota.” Ujarnya menggunakan bahasa isyarat.
Kode etik Juru Bahasa Isyarat diatur dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) yang disahkan oleh PBB, yang dituangkan dalam UU No. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
Pemenuhan aksesibilitas Juru Bahasa Isyarat juga diatur dalam UU No. 8 tahun 2016 mengenai Penyandang Disabilitas.
Polemik pelanggaran penjurubahasaan isyarat ini sedang ditangani oleh PPUA bekerjasama dengan KPU Pusat. Informasi selanjutnya akan menunggu perkembangan. (Ack/Red)