Disahkan Lebih Cepat, Ini Alasan Penolakan RUU Cipta Kerja

berita terkini batam
Masa Menolak Terciptanya RUU Omnibus Law.(Foto: Owntalk)

Jakarta, Owntalk.co.id – RUU Cipta Kerja resmi disahkan menjadi UU oleh DPR pada rapat paripurna yang digelar hari ini, Senin (5/10/2020). Padahal sebelumnya RUU ini direncanakan akan disahkan pada 8 Oktober 2020. Menurut Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Supratman Andi Agus, Baleg bersama pemerintah dan DPD telah melaksanakan rapat sebanyak 64 kali. 2 kali rapat kerja, 56 kali rapat panja, dan 6 kali rapat timus/timsin yang dilakukan mulai Senin sampai Minggu.

Sejak menjadi Rancangan Undang-Undang, RUU Cipta Kerja memang menuai banyak sorotan dari publik. Regulasi tersebut dinilai merugikan pekerja bahkan dinilai ancam hak asasi manusia. Berikut sejumlah alasan terkait penolakan Omnibus Law Cipta Kerja:

Penghapusan upah minimum
Penghapusan upah minimum kota/kabupaten (UMK) dan diganti dengan upah minimum provinsi (UMP) adalah salah satu poin yang ditolak serikat buruh. Penghapusan tersebut dinilai akan membuat upah pekerja lebih rendah. Padahal, Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan tak boleh ada pekerja yang mendapat upah di bawah upah minimum. Baik UMP dan UMK, ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan bupati/wali kota. Penetapan UMK dan UMP didasarkan atas perhitungan Kebutuhan Layak Hidup atau KLH.

Jam lembur lebih lama
Dalam draf omnibus law Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 78 disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam seminggu. Ketentuan jam lembur itu lebih lama dibandingkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menyebut kerja lembur dalam satu hari maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu.

Kontrak seumur hidup dan rentan PHK
Dalam RUU Cipta Kerja salah satu poin Pasal 61 mengatur perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai. Sementara, Pasal 61A menambahkan ketentuan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir. Dengan aturan ini, RUU Cipta Kerja dinilai merugikan pekerja karena ketimpangan relasi kuasa dalam pembuatan kesepakatan. Sebab, jangka waktu kontrak akan berada di tangan pengusaha yang berpotensi membuat status kontrak pekerja menjadi abadi. Bahkan, pengusaha diniali bisa mem-PHK pekerja sewaktu-waktu.

Pemotongan waktu istirahat
Pada Pasal 79 ayat 2 poin b dikatakan waktu istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu. Selain itu, dalam ayat 5, RUU ini juga menghapus cuti panjang dua bulan per enam tahun. Cuti panjang disebut akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Hal tersebut jauh berbeda dari UU Ketenagakerjaan sebelumnya yang menjelaskan secara detail soal cuti atau istirahat panjang bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun di perusahaan yang sama.

Mempermudah perekrutan TKA
Pasal 42 tentang kemudahan izin bagi tenaga kerja asing (TKA) merupakan salah satu pasal yang paling ditentang serikat pekerja. Pasal tersebut akan mengamandemen Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang mewajibkan TKA mendapat izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk. Jika mengacu pada Perpres Nomor 20 Tahun 2018, diatur TKA harus mengantongi beberapa perizinan. Seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Pengesahan RUU Omnibus Law akan mempermudah perizinan TKA, karena perusahaan yang menjadi sponsor TKA hanya perlu membutuhkan RPTKA saja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *